[author : Radian Marthamevia]
Becky Shue’s Point of View
“Kalian yakin tidak ingin menonton
film di Bioskop IAB bersamaku,” tanyaku kepada keenam makhluk yang seperti
kehilangan nyawanya di dunia ini, persis seperti zombie yang sekarat.
Kami sudah menginjak minggu
kedelapan dari dua belas minggu libur musim panas. Harusnya waktu-waktu seperti
ini bisa kami gunakan untuk pulang ke rumah, namun kami semua –siswa kelas 8-3
IAB, terutama kamar asrama putri nomor 24- memutuskan untuk tetap tinggal di
sini. Kami rela menemani Encun yang tidak dapat pulang kampung karena orang
tuanya sibuk mengurusi hasil pemilu di Indonesia. Ibunya adalah salah satu
anggota tim sukses calon presiden nomor dua, sedangkan ayahnya menjabat sebagai
anggota KPU yang cukup tinggi pula kedudukannya. Kami turut empati kepada
Encun. Lagi pula sebentar lagi libur lebaran, jadi kami juga masih memiliki
peluang untuk pulang, bukan?
Benar-benar seperti mayat hidup.
Tidak ada yang menjawab tawaranku dari tadi-semua sibuk dengan masalah mereka
masing-masing. Dari ambang pintu, kulihat Claire sedang menyusun selusin sepatu
futsal miliknya yang sudah jebol ke dalam kardus. Dirinya terlalu emosi saat
bermain futsal, apalagi kalau lawan Nye Nye. Habisnya dia suka curhat kalau lagi main, aku emosi, dong,
begitulah protesnya. Tenaga yang dikerahkan untuk menendang bola terlalu
berlebihan, sampai-sampai tanah lapangan ikut tertendang. Dan foila... ujung sepatunya jebol tak
karuan. Pernah aku mengusulkan untuk memberikan sensor di ujung sepatunya untuk
mendeteksi arah tendangan yang berbahaya. Atau mungkin melapisi ujung sepatu
dengan spons tebal. Tapi semua ditolaknya dengan segera. Pantaslah, Claire,
kan, sedang mengincar sepatu futsal tema World
Cup keluaran Adidas. Yang diiklankan Messi itu, loh.
Maureen, Lotta, dan Encun dengan
hening berkumpul di atas ranjang paling empuk di kamar 24. Siapa lagi kalau
bukan ranjang milik Encun. Katanya, kasur tersebut dia datangkan langsung dari
Indonesia. Dengan kualitas kapuk nomor satu di desanya-dibungkus dengan sarung
kasur hasil pintalan tulus ikhlas serta penuh cinta para tetua di sekitar
rumahnya. Dijamin langsung tertidur kalau membau kasur tersebut. Mantab!
Encun sedang memandangi peta
kampungnya yang berukuran tiga kali kertas HVS kuarto. Ia begitu merindukan
rumah rupanya.
Berbeda dengan Lotta sedang asik
bermain game di tablet baru milik Maureen. Entah apa yang dimainkannya, aku
tidak peduli, begitu pun juga dirinya sendiri yang tidak peduli sedang bermain
apa. Yang penting memegang tablet baru yang ukurannya cukup besar-game semakin
jelas, minus semakin bertambah. Jiah...
Maureen melempar ponselnya ke
sembarang arah. Ia putus asa karena tidak berhasil membetulkan setelan
kameranya yang habis digunakan Nye Nye berselfie ria setelah melihat foto
calon-calon pendamping Nye Nye pilihan Lindsay dan Encun yang tidak membuahkan
hasil.
“Sstt... Sstt... Cepat keluar!
Sibukkan dirimu dari Claire, nanti kamu keceplosan,” Maureen mendongak
menatapku, tangannya melambai-lambai ke atas lalu memperagakan gerakan mengusir
nyamuk, mulutnya komat-kamit dengan gerakan berlebihan supaya aku mampu
menerima pesan bisunya.
Kemarin sore, saat Claire memutuskan
untuk tidur guna mempersiapkan matanya menyaksikan semi final Piala Dunia, kami
semua –seluruh siswa IAB yang tergabung dalam Girlfriend Project, kecuali Claire- mengadakan rapat tertutup di
gudang yang menyimpan peralatan lukis siswa IAB, bukan di gudang angker pojok
gedung IAB. Menurut kami, tempat tersebut lebih terjamin keselamatannya untuk
menghindarkan diri dari Nye Nye dan Loiz. Lagi pula saat itu masih jam lima
sore, aktivitas murid masih tampak.
Maureen menceritakan kepada kami
semua mengenai pertemuannya dengan Nye Nye saat menunjukkan foto-foto
calon-calon pacarnya sampai kepada perasaan Nye Nye. Ya! Bagian Nye Nye
memiliki rasa kepada Claire. Aku cukup terkejut saat itu. Tidak percaya bahwa
seorang Nye Nye dapat jatuh cinta kepada manusia, kupikir ia hanya menaruh hati
pada buku pelajaran.
Dari rapat tersebut, kami sepakat
untuk meluncurkan dua aksi yang kami anggap ampuh untuk melancarkan Girlfriend Project. Pertama...
“Jangan beritahu Claire tentang
perasaan Nye Nye. Bisa-bisa ia semakin menjauh kepada Nye Nye dan membuatnya
semakin nelangsa,” usul Encun yang langsung ditanggapi dengan anggukan penuh
tekad dari kami semua.
Kedua...
“Kita harus menjahui Nye Nye lebih
gencar,” ucap Lotta dengan tegas. Sontak semua mata melotot tertuju padanya.
“Jangan! Nanti Nye Nye tambah
sedih,” kali ini Jean berbicara. Nah! Itu sesuai dengan pemikiranku.
Kulihat Lotta melongo mendengar
usulnya tidak ditanggapi dengan baik. Ia mengutarakan alasannya, “Supaya Nye
Nye semakin dekat dengan Claire, dengan begitu ia akan bahagia, kan?”
Kami yang mendengarnya membentuk
mulut kami menjadi bulat seperti mengatakan alfabet ‘o’, menandakan kami
mengerti maksud dari usul Lotta.
“Baiklah, berarti kita sebisa
mungkin menghindar dari Nye Nye dan tidak mendengarkan curhatannya. Biar Claire
yang menjadi ‘tong sampah’nya. Begitu,” Gareth memperjelas dan disambut
anggukan persetujuan dari kami.
“Haruskah kita mendekati Loiz
supaya dia tidak mendekati Nye Nye dan mengganggu proses PDKT-nya,” tanyaku
sambil memandangi plafon gudang lukisan yang penuh sarang laba-laba. Aku hanya
membayangkan bagaimana jadinya kalau Nye Nye sedang memberikan bunga kepada
Claire lalu datang Loiz yang merebut bunga itu dan diselipkan di atas
telinganya. Ih...
Plak!
Aduh, tiba-tiba aku merasakan sakit
di kepalaku. Sontak aku menoleh ke kiriku, mendapati Maureen yang melakukan
gerakan akhiran setelah memukul kepalaku menggunakan ponselnya. Aku menatapnya
tajam seolah mengatakan :
apa-yang-kau-lakukan-kepada-kepala-indahku-bisa-bisa-kepalaku-bocor-dan-otakku-keluar.
Oke ini terlalu berlebihan, maafkan aku.
“Tanpa disuruh pun Nye Nye akan
menghindar dari Loiz kalau sedang PDKT. Gimana, sih, kamu, Beck,” timpal
Lindsay sambil berkacak pinggang. Aku mengeluarkan cengiran ala pepsodent.
Hehe, iya juga, sih. Kalau Nye Nye memang pintar, pasti ia sudah mencari tempat
yang jauh dari jangkauan Loiz.
“Hei, Becky! Jangan bengong, cepat
nonton film sana,” pekik Lotta yang membuatku tersadar. Ternyata dari tadi aku
melamun. Hehh, terlalu semangat bercerita ke kalian, sih, jadi lupa, kan.
“Iya, tuh, dari pada keceplosan
ngomong sama Claire,” kata Encun dengan tampang tanpa bersalah dan masih
memandangi petanya. Sontak keenam pasang mata melotot ke arah Encun, kecuali
milik Claire yang menatap bingung.
Aduh gawat. Apa yang akan terjadi
selanjutnya? Apa yang harus aku katakan pada Claire? Oh, tidak, kecerobohanmu
sungguh menyiksaku, Cun.
Aku melirik Claire, memandang
temanku yang lain satu per satu-berharap aku mampu menemukan jalan keluar.
Jantungku memompa semakin cepat ketika melihat guratan-guratan halus di dahi
Claire mengetat, memandakan ia kebingungan. “Kamu ngomong apaan, sih, Cun?
Kita, kan, selalu curhat satu sama lain, Becky mau keceplosan apa,” Lindsay
memecahkan keheningan. Tanpa sadar aku menghembuskan nafas lega. “Iya, nih,
ngelindur ya kamu, Cun,” pekik Maureen sambil memukul Encun dengan bantal. Aku
tahu itu pelampiasan kekesalannya terhadap Encun –karena ia ceroboh- bukan
untuk menyadarkan Encun dari aksi ngelindur. Kulihat Claire mengangguk sekilas,
kemudian melanjutkan merapihkan sepatu futsal. Aku menghela nafas untuk yang
kedua kalinya.
Untung saja Encun masih memasang
wajah tanpa bersalahnya –meski sempat tersadar hanya dengan melotot-. Untung
saja Encun tidak kaya ekspresi. Untung saja dia tidak berteriak seperti Maureen
kalau sudah menyadari kesalahannya. Untung saja kebrutalannya tidak kumat pagi
ini. Untung saja ia masih fokus untuk memikirkan kegalauannya. Untung saja...
Banyak sekali keuntungan pagi ini.
Semoga
Claire tidak curiga.
Tanpa sadar
batinku menggumamkan empat kata itu dalam hati selama berjalan menuju Bioskop
Asrama.
Ini tidak bisa dibiarkan.
Aku harus melaporkannya.
Ini tidak boleh terjadi.
Segalanya harus dihentikan!
Jangan sampai melanda Nye Nye,
Ia akan tersiksa.
BEGITU JUGA KITA!!! ARGHHHH...
Dengan langkah lebar, aku menyusuri
jalan setapak di tengah kebun apel yang menjadi penghubung antara Bioskop IAB
dengan teras asrama, berlanjut menembus koridor ramping di sayap timur gedung
utama yang nampak sepi dan berlantai licin. Untung saja aku menggunakan boots transparant dr. Marteens yang beralur tajam, kalau aku menjatuhkan pilihan
pada sepatu canvas, bisa bisa tubuhku sudah menggelinding dari tadi.
Ini jalan pintas sepintas-pintasnya
untuk menuju kamar asramaku.
Nafasku memburu. Mukaku merah padam
penuh dengan keringat. Rambutku sudah acak-acakan tak jelas.
Sebenarnya aku sungguh lelah
berlari sepanjang lebih dari dua kilometer. Namun biarlah, aku tidak peduli.
Pokoknya aku harus menyampaikan informasi penting ini kepada kawan-kawanku
sebelum semuanya terlambat.
Huh, baru kali ini aku menyesali
letak Bioskop IAB yang terlalu jauh dari asrama.
Tidak boleh terlambat.
Brakk..!!!
Tanpa mengetuk, aku membuka pintu
kamar asrama dengan keras dan menutupnya kembali dengan bunyi yang serupa.
Terlihat teman-teman sekamar memelototi aksiku. Sejauh mata memandang (?) tidak
ada Claire di dalam sini. Ini waktu yang tepat.
Aku memejamkan mata untuk menambil
nafas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk berteriak.
“Kawan, bagus, tidak ada Claire di
sini. KALIAN HARUS BERHATI-HATI BILA INGIN MENJAHUI NYE NYE YANG TINGKAT
KESUWUNGANNYA SANGAT TINGGI DAN MEMBIARKANNYA BERPACARAN DENGAN CLAIRE YANG
KALIAN TAHU CLAIRE TIDAK MUNGKIN SEMUDAH ITU MENERIMA NYE NYE KARENA NAMPAKNYA
IA MEMBENCI NYE NYE. IA BISA SAJA BUNUH DIRI KARENA KESEPIAN!!”
“Heh! Heh! Becky bodoh,” panggil
Maureen dengan nada rendah namun penuh kecaman. Seketika aku melotot tak terima
atas panggilannya.
‘CLAIRE DI DALAM KAMAR MANDI FAV.
MU!’
Seketika mataku semakin lebar
membaca torehan spidol hitam papan tulis di sketch
book A3 milik Jean. Demi Tuhan, ini sungguh tidak baik. Kamar mandi
favoritku hanya berjarak satu meter dengan pintu utama, berbeda dengan satunya
lagi yang berada di bagian lebih dalam lagi dari kamar ini. Ventilasi kamar
mandi di atas rangka pintu cukup besar, gelombang suaraku mudah melewatinya. Dengan
begitu, Claire pasti mendengar apa yang aku ucapkan, koreksi, aku teriakkan
dengan amat sangat jelas.
Belum sempat merelaksasikan lensa
mata, pintu kamar mandi di sebelah kananku terbuka dengan lebar dan keras
–menyaingi aksiku saat masuk ke sini-, mau tak mau lensaku semakin melebar.
Claire keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang lengkap dan wajah yang masih
kusut. Sepertinya dia belum mandi dan malah asik mendengarkan teriakkanku tadi.
Hah??!!
Oh, tidak, jangan sampai.
Tapi, tidak ada alasannya baginya
untuk tidak mendengarkan kecerobohanku.
Claire berjalan keluar kamar mandi
dengan acuh, seolah tidak terjadi apa-apa. Kakinya melangkah menuju sebelah
selatan rak sepatu, tangannya menggapai raket bulu tangkis milik Maureen yang
digantung di tembok. Aku mengigit bibir bawahku, begitu juga dengan yang lain.
Menerka-nerka apa yang akan dilakukan Claire dengan raket itu. Apa ia akan
memukulku karena kami ketahuan menyembunyikan rahasia di belakang Claire?
“Waa!! Kaget, ya?! Hahaha..” tawa
Claire menggelegar setelah menggodaku dengan meleparkan raket ke arahku dan
mengambilnya kembali sebelum menampar wajahku.
“Jangan kaget gitu, lah. Ini loh,
aku cuman mau ngambil shower cap yang
tersangkut di kepala shower. Kok bisa
gitu ya? Haha..” Claire memasuki kamar mandi. Beberapa saat kemudian kami
mendengar suara gemercik air dari dalam sana.
Kok bisa?
***
“Kau hampir membunuhku, Beck,” ucap
Lotta tegas dengan suara pelan. Takut apabila Claire mendengar suaranya dari
luar.
“Kau pikir hanya kau saja yang
hampir mati, aku juga, Lotta! Lebih sekarat,” balasku tak mau kalah.
“Cepatlah katakan apa alasanmu
berteriak tadi. Aku was-was bila ada kecoa yang seandainya datang
menghampiriku,” Lindsay bergidik ngeri.
Kami duduk di atas lantai kamar
mandi yang kering, mengitari sandal harian kami yang dikumpulkan di tengah.
Mengapa kami bisa berada di sini? Karena manusia-manusia disekelilingku
menuntut penjelasan atas tindakanku tadi. Mereka tidak ingin Claire mengetahui
maksud dari perkataanku, maka dipilihlah tempat menarik ini. Sandal yang turut
serta bersama kami dimaksudkan untuk menghilangkan kecurigaan Claire dari
keadaan kamar yang sepi, bisa dibilang supaya dia beranggapan kami sedang
keluar kamar. Di rak sepatu masih tersisa sepasang sandal milik Lotta yang
ditinggal dengan segaja, seolah-olah menunjukkan di kamar mandi yang tertutup
dan terang ini ada Lotta di dalamnya.
“Aku akan menjelaskan dengan
singkat karena kamar mandi sangat pengab. Begini, aku tadi melihat film tentang
seorang remaja yang frustasi karena dia kesepian akut. Dia dijauhi
teman-temannya karena dia aneh atau bisa kalian katakan nerd. Tidak hanya karena itu, frustasinya juga disebabkan oleh
pujaan hatinya menolak dia terang-terangan di hadapan kakak kelas yang suka membully-nya. Padahal ia hanya menyatakan
perasaan, tidak bermaksud menembak.”
“Kau mau menyamakannya dengan Nye
Nye,” tanya Encun memotong ceritaku.
“Nah, itu dia! Tapi kau tenang
dulu. Biar kulanjutkan.
Semenjak kejadian itu, kakak kelas
semakin genjar mengejeknya. Yang lain semakin genjar menjauhinya. Lama-kelamaan
ia tidak tahan dengan semua yang diterimanya. Sampai akhirnya, ia memilih untuk
bunuh diri dengan menggantung di gudang sekolah. Arwahnya gentayangan di sana
selama bertahun-tahun, menggangu teman-teman yang menjauhinya dan juga kakak
kelas yang mengolok-oloknya. Aku tidak mau ini terjadi pada Nye Nye! Aku tidak
mau ia bunuh diri! Aku tidak mau dia menggentayangiku,” mati-matian aku
berusaha meredam suaraku.
“Apa?! Jadi hanya karena film
sialan itu kau hampir membunuhku?!” Lotta berteriak dan beranjak dari duduknya.
Dengan sigap Maureen membawanya duduk dan membekap mulut lancang Lotta.
“Kesepakatan kita kemarin tidak
mungkin terlaksana. Kita menjauhi Nye Nye, maka Claire juga akan melakukan hal
yang sama. Nye Nye akan semakin tersiksa! Kalian tahu ini akan menjadi mimpi
buruk bagi seluruh siswa IAB kalau terjadi pada Nye Nye. Bukannya aku
mengkhawatirkan Nye Nye yang akan bunuh diri, tetapi arwahnya yang akan
menggentayangiku dan juga kalian di setiap malam. Apa jadinya hidup kita
nanti?!”
“Aku tidak mau dekat dengan Nye
Nye, aku bisa gila, Becky,” protes Lotta yang tak kutanggapi. Memang brutal
dia.
“Lalu apa rencanamu, Beck,” tanya
Jean kalem. Huh, memang dia saja yang bisa bicara halus.
***
Kami mendapati Claire
terbengong-bengong menatap kami yang keluar dari kamar mandi
berbondong-bondong.
“Kali—“
“Claire kami ingin bicara padamu,”
aku memotong ucapan Claire dan menuntunnya untuk duduk di atas ranjang Encun
bersama Lotta dan Lindsay, sisanya duduk di ranjang Maureen.
“Berjanjilah pada kami kau tidak
akan berteriak dengan alasan apapun,” Maureen yang berhadapan dengan Claire bersuara.
Giliran dia memperingatkan, padahal dirinya sendiri belum mampu mengendalikan
diri. Hehehe, maafkan aku, Maureen. Claire mengangguk, meski aku tahu dia tidak
paham sama sekali dengan apa yang akan kami lakukan. Biasanya ia memberontak,
tapi kali ini menurut. Kemana jiwa pemberontaknya? Oh, tersangkut bersama shower cap-nya mungkin, ya? Ehh, apaan,
sih, ini?!
“Ehm.. Ehm...” Maureen membersihkan
tenggorokkannya sebelum berbicara lebih lanjut. Berkali-kali ia tersenyum,
mencoba membuat wajahnya nampak manis. Ia mencoba mencegah meledaknya emosi
Claire nantinya bila mendengar pernyataan ini :
“Em, Nye Nye suka padamu.”
Kami telah sepakat untuk memberi
tahu Claire dengan alasan, supaya kejadian di film tidak terjadi pada Nye Nye.
Memang kemungkinannya untuk terjadi sangat kecil, tetapi lebih baik mencegah
daripada mengobati, bukan? Lagi pula kasihan Nye Nye yang akan terus dijauhi.
Bisa-bisa ia menceburkan diri ke laut dan mencari jodoh di sela-sela terumbu
karang.
Setelah ini, kami akan memaksa
Claire untuk tidak menjahui Nye Nye dan justru bersikap baik kepadanya. Kalau
bisa Claire menjadi perhatian dengan Nye Nye. Dengan begitu, Nye Nye tidak akan
sedih dan otomatis ia tidak akan curhat yang galau-galau kepada Claire dan juga
kepada kami. Oh, ya, hidupnya juga tidak akan berakhir mengenaskan seperti
tokoh yang kutonton di film tadi pagi.
Ini akan menjadi langkah baru bagi
kami.
Claire tak bereaksi. Kulihat
Lindsay sedang asik menggumamkan mulutnya, menghitung seberapa besar reaksi
yang akan ditimbulkan oleh Claire nantinya. Katanya, kalau sudah melebihi
sepuluh hitungan sejak berita tersebut di utarakan dan Claire tidak berteriak,
maka ia tidak akan berteriak juga. Itu artinya berita yang kami sampaikan dapat
diterima Claire dengan santai dan kemungkinan konflik yang ditimbulkan tidak
akan besar. Kalau berteriak, berarti sebaliknya.
Kulihat mulut Lindsay mengucapkan
angka enam bersamaan dengan mata Claire yang membesar serta tubuhnya menegak.
Belum ada teriakkan.
Tu—
“APAAA???!!”
--juh
Kalau
berteriak, berarti sebaliknya...
To
be continued.
Author's note
Maafkan saya yang terlalu lama ngepos, kawan. Had bad days lately, guys. Dan maaf banget belum bisa masukkin karakter baru ternyata. Kalau dipaksain takutnya makin nggak nggenah. Ini aja juga udah kacau banget. Terimakasih, viewers!
Lots love!
No comments:
Post a Comment