Write my life!

Bukan Masalah Logika

Edytuj post

“Cause everything starts from something. But something would be nothing. Nothing if your heart didn't dream with me. Where would I be, if you didn't believe. Believe...” 

 Aku sedang duduk-duduk di koridor kelas bersama Anny, teman sekelasku. Aku tahu ini sudah jam pulang sekolah, tapi kami belum pulang karena masih terlalu asik dengan kegiatan-kegiatan yang kami lakukan di sini. Kegiatan-kegiatan? Iya, sedari tadi kami saling menceritakan pengalaman pahit kami masing-masing dan bernyanyi. Dan yang tadi itu lirik lagu yang kami nyanyikan, Believe - Justin Bieber. Bicara tentang kenangan pahit...

"Lisa, silahkan bacakan cerita yang telah ditulis temanmu,” perintah Mr. Brooks, guru Bahasa Indonesia yang mengajar di kelasku. Dari tempat duduk paling belakang aku bisa melihat Lisa mengangguk menerima perintah dari Mr. Brooks. 

“Beberapa waktu yang lalu, aku dan keluargaku berkunjung ke suatu pegunungan yang berada tidak jauh dari kotaku. Gunung Kidul. Ya, nama gunung itu adalah Gunung Kidul. Di sa..” 

“Sebentar Lisa. Saya ingin bertanya, kemana penulis itu, temanmu yang menulis cerita itu maksud saya, pergi,” tanya Mr. Brooks menyela Lisa yang baru membaca paragraph pertama dari cerita itu. Aku tahu ia baru sampai paragraph pertama karena itu ceritaku. Hem, ada apa ini? Mengapa ia memberhentikannya? Bagiku karya ceritaku itu baik-baik saja. 

“Gunung Kidul, Mr. em..  maaf, Pak. Gunung Kidul, Pak,” jawab Lisa. 

"Gunung Kidul? Gunung Kidul tulisnya? Hahahaha….” Aku menaikkan sebelah alisku. Bingung. Bingung akan tingkah Mr. Brooks yang aneh. Ada apa yang salah dari ceritaku? Apa yang janggal dari Gunung Kidul? 

“Hahaha…. Maaf, saya lancang. Penulis mengatakan ia pergi ke pegunungan dan itu adalah Gunung Kidul,” tanya Mr. Brooks setelah menyelesaikan tawanya yang luar biasa keras. Lisa hanya mengangguk. 

“Hahahah… Kalian tahu, Gunung Kidul itu bukan nama gunung. Itu nama kota seperti layaknya Surakarta, Sukoharjo, dan sejenisnya. Tapi temanmu yang menulis itu menganggap itu adalah nama sebuah gunung. Hahaha…. Siapa penulisnya?”  

Apaaaaaa??? Jadi itu yang aneh dari cerita yang aku tulis? Aku membeku sambil melotot di tempat dudukku. Menyadari bahwa Mr. Brooks menanyakan siapa penulisnya, aku mengangkat tanganku ke atas dengan ragu.  

“Oh, jadi kamu Kelly, yang menulis cerita berlibur ke pegunungan bernama Gunung Kidul?” Serentak semua anak di kelas memandangku yang duduk di belakang dan paling pojok. Aku merasa tidak nyaman dan merasa dipermalukan.  

“Iya, Pak." 

“Hahahha… Itu bukan nama gunung, Kelly. Itu nama kawasan. Ya memang di sana terdapat pegungungan, tapi itu bukan namanya. Hahaha… Sepertinya ada miss communication diantara kamu dan yang mengajakmu berlibur ke sana. Hahaha,” tegur Mr. Brooks. 

Gelak tawa Mr. Brooks diikuti oleh teman-temanku sekelas. Menertawakan dengan keras, sangat keras. Pasti kau bisa merasakan bagaimana perasaanku jika aku di tertawakan habis-habisan yang hanya gara-gara masalah sepele. Iya! Malu. Itu yang aku rasakan. Mungkin sekarang mukaku sudah merah seperti tomat. Bodoh sekali, tidak penting mau merah atau tidak.

"Ini yang kamu maksud,” lanjut Mr. Brooks sambil menggambarkan gunung di papan tulis dan diberi tulisan ‘GUNUNG KIDUL??’ di bawahnya. Ya ampun, Mr, kau belum puas melihat aku terpojokkan? 
Aku hanya tersenyum miris melihat tawa mereka yang semakin mejadi. Silahkan ketawa aja sampai puas, sampai perut kalian sakit. Silahkan. Kalau memang menurut kalian itu lucu. Silahkan tertawa yang keras, Mr. Brooks. Anda menyakiti hati murid anda. Murid anda merasa harga dirinya direndahkan. Bukanya dibesarkan hatinya, malah ditertawakan. Pasti anda tahu, kalau hati murid anda pasti sakit. 
Ya jelas aku merasa sakit hati. Menjadi pusat perhatian dan menjadi alasan teman-teman dan guruku tertawa puas. Bukan hanya itu, tapi juga sakit hati karena dipermalukan. Mempermalukan tanpa ada aturan dan menurutku itu berlebihan! 
Mungkin saja mereka bisa melihat aku ikut tersenyum disaat mereka menertawakan diriku, tapi sejujurnya di dalam hatiku berbeda seratus-delapan-puluh-derajat keadaannya. Mungkin kalau digambarkan sebagai sosok manusia, hatiku seperti ditonjok-tonjok oleh petinju handal dan ada banyak memar di sekujur tubuh. Sakit sekali rasanya, sakit. Mungkin rasa sakit di perut mereka akibat tertawa tidak sesakit rasa yang dialami perasaanku. 
“Kelly! Kok nyanyinya berhenti sih? Ngapain ngelamun aja,” tiba-tiba saja Anny membangunkanku dari lamunanku. 
“Em, eng eng enggak ada apa-apa kok. Hehehe,” jawabku terbata-bata. 
“Masih mikir kejadian di kelas yang tadi, ya? Hem, nggak usah dipikirin, Kel. Aku juga pernah, kok, diketawain kayak kamu tadi. Cuman parahnya nggak ada yang bisa nenangin aku waktu itu. Kalau kamu, kan, ada aku. Tapi ya waktu itu aku coba sabar dan aku rasa mereka cuman bercanda kok, nggak ada niat buat nyakitin hati Hehehe..” 
Deg! Ucapan Anny membuatku tersentak. Bagaimana aku tidak tersentak, yang dimaksud Anny tadi adalah aku dan teman-teman sekelas yang lain. Dulu aku pernah membuatnya ditertawakan karena aku dengan sengaja meletakkan tasku di tengah jalan yang dilalui Anny agar ia tersandung. Dan pada waktu itu aku yang menertawakannya paling keras, aku rasa. 
“Em, Anny. Terimakasih ya sudah menenangkanku. Dan maaf kalau kejadian dulu buat kamu malu. Maaf, ya,” pintaku dengan tulus. Ya karena aku telah merasakan hal yang sama dan sakit yang sama, jadi aku  mengatakan ‘maaf’ dengan tulus dan tidak ada maksud apa-apa. 
“Hahaha.. iya, santai aja, Kell. Udah aku maafin kok,” aku langsung memeluknya erat dan kembali menyenandungkan lagu tadi… 
There were days when I was just broken, you know. There were nights when I was doubting myself. But you kept my heart from falling. It didn't matter how many times I got knocked on the floor. But you knew one day I would be standing tall. Just look at us now…..” 
Aku sempat berpikir, kenapa disaat itu aku menertawakan Anny tanpa memperhatikan perasaanya sama sekali. Disaat itu aku hanya memikirkan kesenangan dan hiburan sesaat bagiku dan teman-teman sekelas. Iya, ‘me-mi-kir-kan’. 
Disaat aku menjaili hingga menertawakan Anny, aku menggunakan pikiranku dan logika untuk melakukannya. Aku tidak menghiraukan perasaan Anny pada saat itu, karena bisa dilihat dari raut wajahnya, ia tersenyum seakan tidak ada yang mengganjal di hatinya. Aku tidak mau merasakan apa yang ia rasakan saat itu. 
Dan kali ini terbalik, giliranku untuk ditertawakan. Dan aku menyadari rasanya sakit dijadikan bahan lelucon. Mungkin kau merasa aku berlebihan dalam menanggapi masalah ini, ya itu karena kau memandangku dengan pikiranmu, bukan dengan hatimu. Ini bukan masalah logika, tapi perasaan…


No comments:

Post a Comment

© Agata | WioskaSzablonów.