Write my life!

Masih Ingat, Nggak? Penghuni Pohon Pisang

Edytuj post
Asik, tahun ini sudah jadi senior yang paling senior di sekolah -halah-. Banyak banget kenangan yang ada di kelas enam, saking banyaknya sampai lupa, beneran deh.

Awal-awal duduk di kelas enam sih biasa aja, pelajaran juga nggak ada bedanya, apalagi tahu bahwa wali kelasnya tetep. Itu, lho, yang punya cara menghafal paling membekas.
Waktu diumumin tentang pembagian wali kelas, hampir semua temanku bersorak kegirangan sambil loncat-loncat kayak anak kecil udah tahu jawabannya satu tambah satu. Kalau aku sih biasa aja waktu itu, habisnya seneng juga enggak, sedih juga enggak, terharu apa lagi. Tapi aku ngerasa aneh ngeliat responnya temen-temen.

Makin aneh lagi waktu di pertengahan semester satu -mungkin-, temen-temen pada berontak karena wali kelasnya nggak berubah.

"Harusnya kita bisa ngerasain di ajar sama Pak *piiip*!"

"Masak kita naik kelas gurunya juga ikut naik kelas???!"

"Bosen tau!"

Selalu ngoceh seperti itu setiap harinya, bahkan mereka dan termasuk aku mulai kewalahan mengikuti sistem pembelajarannya karena hafalan kelas enam itu cukup banyak. Mungkin bahan hafalan sedikit, tapi karena tanggungan kita untuk mengikuti Ujian Nasional, semua seakan terasa berat.

Kalian boleh ketawa untuk kali ini. Saking tak kuasa bertahan menjadi murid dengan wali kelas yang sama, teman-temanku curhat pada guru Religiositas yang mengajar di kelas kami. Menceritakan keburukan guru tersebut di depan SAHABATNYA sendiri. Kurang gila apa?! Sampai-sampai ada yang memunculkan ide untuk membuat surat pernyataan kepada kepala sekolah untuk mengganti wali kelas kami dan ditandatangani oleh semua siswa-siswi di kelas kami. Kayaknya sih suratnya sudah dibuat, nggak tahu sudah dikasihkan atau belum. Kalau sudah, kayaknya useless deh, soalnya tetep nggak ada pergantian wali kelas. 

 Tapi justru hal yang paling menyedihkan seperti itu yang paling berkesan, kok. Nyatanya aku tulis di awal sendiri dan teman-teman juga masih ingat. 


Beda dengan tahun sebelumnya, nilai Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawaku di kelas enam nggak sebagus di kelas lima. Bahkan banyak banget nilai temen-temen yang jauh di atasku. Ya ini karena guru yang mengampu berbeda dari sebelumnya. Kata mereka sih, mereka cocok dengan sistem pembelajaran guru ini, lah kalau aku? Kebalikan. Tapi aku sebagai kaum minoritas, nilai jelek tanggung sendiri. Nggak seperti nilai IPS di kelas lima dulu.

Bicara soal nilai IPS, nilaiku meningkat lohhh, keren kan?! Meski cuman sedikit. Tapi bagi pembenci (?) atau bisa dikatakan murid yang nggak suka pelajaran IPS dan segala flashback-flashback di dalamnya, ini termasuk prestasi. Hiaahaha...
Gurunya masih sama, kok, metodenya juga masih sama, cara kita menerima metodenya juga masih sama, huhu :(.

Oh, ya, belum pernah ya aku nulis tentang pelajaran kesenian? 
Bisa dibilang sih aku suka pelajaran seni rupa yang bagian menggambar dan membuat prakarya apalagi sewaktu menyulam dan membatik di kelas enam. Tapi yang namanya menari, wuh, nggak usah ditanya, gerak aja nggak bisa.

Menurutku sih kalau cuman disuruh mengikuti guru menari tarian Jawa trus dinilai gitu nggak apa-apa, tapi kalau ada tugas untuk membentuk kelompok dan membuat koreografi dengan lagu daerah, jadi patung deh akhirnya. Tapi nggak mungkin lah aku jadi patung waktu penilaian, tega amat.Ya setidaknya ada sedikit usaha untuk mengalahkan ke-ti-dak-su-ka-an-ku pada pelajaran membuat koreografi. Demi mendapatkan nilai. DEMI NILAI! -kayak nggak niat banget sekolah kalau cuman buat cari nilai-.

Sebelum UN, ada banyak latiahan soal dong tentunya. Sebernernya ini sangat berkesan buatku, saat aku berlomba-lomba mendapatkan nilai seratus pada latiahan soal ujian Matematika bersama teman-temanku yang juga sering mengikuti olimpiade matematika denganku. Entahlah, saat nggak dapat seratus itu serasa berada di lapisan bumi paling dalam, tekanannya tinggi.
Oh, iya, aku juga suka tuh debat sama guru matematikaku kalau lagi mengoreksi latiahan soal.
Kadang dia nggak mau ngaku kalau jawaban dia salah. Tapi kayanya dia nggak sadar -positif thinking, dong-. Kalau nginget-inget itu jadi geli sendiri. Habisnya aku sampai maju ke depan menghampiri sang guru terhormat dan melanjutkan debat sambil membawa dukungan serta bantuan doa dari temen-temen yang dibelakang . Lancangnya, Vi._.

Character Building
Menuju Ujian Nasional pasti ada pembekalan-pembekalan. Salah satunya character building. Aku nggak akan menceritakan kalian tentang apa yang aku lakukan dalam acara tersebut. Karena kalian pasti tahu tujuan kegiatan tersebut dan dapat mengira-ira lah apa saja yang kita lakukan.
Hm, kan biasa gitu kalau kita nangis-nangis kejer, minta maaf sama teman, peluk-pelukkan. Tapi yang nggak lazim itu, beberapa menit kemudian teman-temanku yang cowok sudah mulai pethakilan kesana kemari, njailin teman, gendong-gendongan, bercanda tapi pakek fisik... Like, uh, what did that apologize mean? 
Nggak penting juga sih bagian yang ini. 
Nggak ada gregetnya juga sih kegiatan ini.
Cuman mau ngasih tau aja kok -krik-. 


Selain Character Building, ada juga retreat.
Waktu itu retreatnya di River Hills. Orang bilang, sih, villa ini nggak cocok buat retreat anak SD soalnya kebagusan. Tapi, apa peduli sang murid kalau udah dikasih yang enak-enak?
Seru. Apalagi kalau sekamar isinya delapan single bed dan dua double bed diisi sepuluh orang murid dan dua guru pendamping yang kalau malam nggak ada di tempat alias kumpul-kumpul sama guru lain di aula villa.


Entahlah, kami itu cewek-cewek cemen semua, nggak berani tidur soalnya udaranya dingin dan di depan pintu masuk kamar kami ada banyak pohon pisang yang dipercaya sebagai singgasana makhluk ehm ehm, tak tampak di mata kami. Dan cerita yang nggak tahu kebenarannya itu berhasil kami percayai -dengan mentah-mentah-.
Untuk mengurangi rasa takut tersebut, kami semua menggeser bed kami supaya sambung menyambung jadi satu dan menyalakan tv dengan volume yang lumayan lah. Tapi nggak tahunya malah acara horror yang ada di sana. Sumpah, unyu banget kalau begini.

Waktu kamar kami hening, tiba-tiba kami mendengar suara gedhebak-gedhebuk dari plavon kami. Ini nyeremin, lho. Masak diacara retreat kayak begini mbak-mbak penghuni pohon pisang mau gangguin kita, sih? Jangan dong! Kami belum mau mati!!

Suasana tambah mencekam ketika gorden pintu kaca kami (pintu kaca yang digunakan untuk keluar masuk balkon) yang kebetulan berada di lantai bawah bergerak seperti ada orang yang mau masuk. Padahal saat itu kami berpikir bahwa pintu sudah terkunci rapat. Seketika ke dua belas siswi cemen teriak nggak karuan, dengan ekspresi yang nggak karuan juga mestinya.

Setelah sekian lama kami mendekam, akhirnya semua kejadian misti tersebut terkuak juga -kecuali misteri penghuni pohon pisang-. Yang pertama, ternyata itu suara teman laki-laki kami yang bermain sepak bola di kamar, yang kebetulan kamarnya berada di atas kamar kami. Jadi langkah kakinya terdengar jelas, apalagi mereka lari-lari. Ya ampun, kok gitu banget, sih?

Dan yang kedua, ternyata kasus gorden bergerak itu adalah ulah dari dua orang teman kami yang nyelonong masuk ke kamar kami karena mereka bosan dan TIDAK ADA NIAT UNTUK MENAKUT-NAKUTI KAMI. Setelah diintrogasi kenapa bisa masuk, katanya pintu balkon belum dikunci dan masih terbuka. Untungnya mereka datang, yah. 


Paginya ada game yang terdiri dari beberapa pos yang terletak di taman River Hills. Permainan ini dilakukan secara berkelompok dan kelompok kami telah ditentukan dengan cara berhitung.
Aku pikir, hari itu akan menyenangkan. Tapi, sialnya, keberuntungan enggan mendekat.
Di salah satu pos, kami diminta untuk membuat yel-yel kelompok dengan gerakan.
MAMA JEMPUT AKUUUUU!!
Yang namanya nggak suka nari, ya, nggak suka, tapi kenapa ini harus? Nelangsaku semakin menjadi mengingat posisiku sebagai ketua kelompokku. Bzz...

Nggak hanya itu, aku juga kena semprot sama guru pendamping kelompok kami gara-gara aku dibilang nggak mampu ngarahin temen-temen dalam permainan injak balon sambil ditutup matanya -kecuali aku sebagai pengarah-.
Dibilang kurang tegas, lah; kurang cepat dalam bertindak, lah; nggak mau teriak-teriak lah; dan jutaan kurang-kurang lainnya.
Lah, kok malah begini, sih? Kan aku jadi sakit hati kalau dibegitukan.
Namanya juga permainan, pasti ada yang kalah dan yang menang dong, Bu.

Nasib yel-yel kami gimana?
Bodo amat, temen dong yang buat. Aku sudah sakit hati huuu...

Jadi intinya, retreat kelas enam itu, memilukan. Sekian. Mohon pengertiannya. Terimakasih.


Hello, UN!
Sedikit menyedihkan. Memang nilainya cukup tinggi dan lumayan, lah, tapi nggak sesuai dengan yang diharapkan dan banyak banget yang melampaui nilaiku.
Sedih pakai banget pada awalnya. Tapi lama-lama aku terima, toh ini semua hasil kerja keras ku dan campur tangan Tuhan, bukan karena curang, kan? Harus bangga!


Nah ini dia waktunya perpisahan.
Excited waktu tau kalau perpisahan diadakan di Orion dengan tema film Harry Potter. What a great moment! Kami semua -para murid- memakai toga lengkap dan duduk dikursi yang ditata persis kayak kursi makannya di film Harry Potter. Seakan nggak mau kalah sama muridnya, guru-guru memakai pakaian serba hitam dan jubah hitam serta kepala sekolah kami tersayang berdandan ala-ala kepala sekolah Hogwarts, Dumbledore. Totalitas, men. Pakai kumis juga. Untungnya badan beliau mendukung aksi imitasi untuk menjadi Dumbledore loh. Hahaha...


Pokoknya acara perpisahan sangat berkesan meski waktu berjalan sangat cepat bagaikan kecepatan cahaya yang merambat lurus melalui ruang hampa -halah-. Seakan nggak kerasa kalau setelah ini, peluang kami untuk bertemu itu jarang sekali. Dan kalian harus tahu kalau tempat dudukku berhadapan dengan sosok yang memegang tanganku di kelas empat. Ha!





Itulah kisahku di kelas enam SD sampai lulus. Kalau nggak ada rasa pahit nggak bakal tahu rasa manis, kan? Semuanya dikemas menjadi satu paket lengkap super spesial. Tapi dengan begitu, semua perjalannku menjadi berkesan dan ada maknanya. Lagian hidup juga nggak akan pernah menyenangkan kalau kita berada di atas awan terus tanpa menengok ke bawah.
Bitters are here with me to show me sweets...








Akhirnya Masih Inggat, Nggak? sudah selesai. Yeeeeeeee!! Uyeeeee~ 
Seharusnya ini bisa selesai sejak lama, tapi aku selalu nggak bisa buat cerita di tengah-tengah kesibukkan sekolah. Rasanya nggak nyaman dan terburu-buru. Jadilah baru sekarang, malam tanggal merah, kenangan SD ini bisa diselesaikan. Terimakasih semuanyaaaaaaa!!

Untuk selanjutnya, akan ada cerita fiksi bersambung lagi. Tapi masih direncanakan secara mentah dan masih mencari-cari alur maupun amanat yang tepat. You know, lah, habis ini masih ada UKK. Ada juga semi fiksi-nonfiksi bersambung yang akan dibuat bersama dua blogger lain yang kebetulan adalah sahabat gilaku di sekolah -hehehe damai!-. Tapi ini juga masih ide mentah. Semoga aja jadi ya ;;)






No comments:

Post a Comment

© Agata | WioskaSzablonów.