Hello, readers! Firstly, I really want to say thanks for all the respond for my previous article. Then this is my second Indonesian task. Hell yeah I had to re-write my new short story beacuse the last contains um um um um criminal. So, my teacher didn't give me score. But who knew? Okay, that's enough. Enjoy this guys!
“Meski
begitu setidaknya aku mau mondar-mandir ke sekolah – rumah sakit cuman buat
ngunjungin kalian dan memastikan kalau kalian tidak membuat hal-hal gila lain,
bikin susah. Tapi kapok, kan, kalian? Bersyukur, dong,” omelku selama
perjalanan pulang dari rumah sakit menuju rumah cewek-cewek kembar yang
bernotabene sebagai sahabatku.
“Iya, iya. Janji, deh, nggak bakal
kaya gitu lagi, sakit,” sesal Anna yang duduk di kananku.
Akhirnya menyesal juga. Menyedihkan,
sih, mengetahui fakta bahwa menyesal selalu datang belakangan, namun justru
kali ini aku senang hal tersebut terjadi pada Anna dan Alice. Mudah-mudahan
saja dengan begini mereka akan menjahui hal-hal gila yang membuatku ikutan
gila.
Kegilaan mereka bermula lebih dari
setengah tahun yang lalu. Pada waktu itu, tiba-tiba saja dua anak kembar aneh
itu datang ke rumahku sambil menampakkan muka kusutnya bak baju yang belum
disetrika, tambah kusut lagi saat mereka berteriak tak karuan seperti orang
kesurupan. Aku yang berstatus sebagai pemilik rumah buru-buru menenangkan
keduanya dan membawa masuk ke kamarku, takutnya tetangga berdemo di depan
rumahku akibat terganggu.
“Karena sudah tenang, sekarang
ceritakan apa yang terjadi,” tawarku kepada mereka berdua, sebenarnya lebih
terdengar seperti perintah, sih, namun apa peduliku.
“Huaaaaa.... Ribka!!! Aku sedih!”
“Aaaa... Aku juga. Huaaaaa....”
“Haahhh... My sweety honey bunny mani pedi Robin baru saja jadian sama Elsa.
Anaknya konglomerat yang kurus ceking nan tinggi kaya tidak pernah dikasih
makan itu,” celoteh si Anna yang masih sesenggukan.
Tuh,
kan, benar, akhirnya cerita juga. Dan sepertinya, Alice juga ingin mengeluarkan
unek-uneknya.
“Haris
juga baru saja punya pacar. Kamu tahu anak Home
Industri yang gemuknya melebihi Anna, kan? Bisa-bisanya Jessie jadi pacar
Haris. Padahal kamu dan bahkan semua orang tahu kalau aku itu lebih baik dari
Jessie. Badanku yang indah, cantik, menawan, dan mempesona masa kalah? Kurang
sedih apa aku ini?!”
“Kamu
itu kekurusan, Lice. Badan isi tulang semua, seleranya Robin, tuh, kayaknya,”
timpal Anna. Aku hanya diam. Biarkan kakak adik yang jarak umurnya kurang dari
lima menit ini berdebat dahulu.
“Apa,
sih?! Kamu yang kegemukan. Lihat, sepuluh kalinya badanku. Pantas Robin tidak
mau sama kamu.”
“Salah
kamu, sih, terlalu baik ngasih lemak
ke aku, sampai-sampai aku obesitas, kamunya busung lapar,” tuduh Anna, disambut
dengan pelototan dari Alice yang menyatakan bahwa dirinya tidak terima
dikatakan busung lapar. Tajam sekali kata-katanya, bagaikan pedang yang baru
diasah oleh manusia perkasa dengan penuh perasaan. Hiahh, berlebihan sekali.
“Sudah,
dong, jangan bertengkar terus. Aku ada ide, nih. Gimana kalau kalian bertukar
em, apa itu orang bilang? Gebetan! Ya, gebetan! Jadi, Anna jadi suka Haris,
Alice suka Robin. Lagi pula kalian menyukai orang yang salah. Gimana,” tanyaku
pada keduanya sambil menaik turunkan kedua alisku. Aku sadar, kok, kalau ideku
ini bodoh pakai sekali. Tapi, kan, aku hanya mencoba menghibur mereka.
“TIDAK
AKAN,” teriak keduanya bersamaan. Hampir saja aku tuli.
“Idemu
tidak masuk akal. Satu-satunya hal yang akan aku lakukan adalah diet, diet, dan
diet. Dengan berolahraga atau mungkin tidak makan seharian pasti bisa
menurunkan, setidaknya, lima sampai sepuluh kilogram perminggu,” itu ide atau
mungkin niat Anna.
“Kenapa
kau tidak transfer saja lemakmu ke
dalam tubuh adikmu,” tanyaku sambil membaca majalah kesayanganku setelah tadi
terhenti akibat ulah dua makhluk yang tiba-tiba menyusup ke rumahku.
“Tidak
mau! Lemaknya Anna itu lemak jahat. Aku akan makan junk food yang penuh lemak saja setiap hari supaya aku cepat gemuk
kemudian Haris akan terpikat olehku seperti dirinya terpikat oleh Jessie,”
giliran Alice yang merencanakan misinya supaya cintanya tidak bertepuk sebelah
tangan.
“Tinggal
dilaksanakan, kan,” tanyaku pada kedua sosok yang tengah membayangkan akan
hasil mereka setelah menyelesaikan misi masing-masing. Dan dengan tampang
berseri mereka langsung melenggang dari kamarku dan berjalan ke luar rumah.
“Bye, Ribka! Kami akan melaksanakan misi
kami dulu. Doakan kami, ya! Terimakasih sudah membantu memecahkan masalah kami.
Kami mencintaimu, Ribka,” teriakan cempreng Alice terdengar dari luar rumahku
dan kemudian suara mobil menjauh dari pekarangan rumah. Iya, mereka berdua
menaiki mobil, namun dengan sopir. Datang seenaknya, pulang juga seenaknya.
Dasar.
Ngomong-ngomong,
memangnya aku membantu menyelesaikan masalah mereka? Perasaan tidak sama
sekali, usulku saja ditolak mentah-mentah. Masa bodoh, lah, yang penting mereka
sudah tidak murung lagi. Aku doakan saja semoga keduanya berhasil. Kan, lumayan
kalau mereka mendapatkan pujaan hati masing-masing aku bisa ditraktir. Yeee!!
Sudah
berbulan-bulan keduanya menjalankan misi pengurusan dan penggemukan badan.
Namun tingkah keduanya membuatku sedikit geram. Bagaimana tidak, kalau kami
sedang jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, Alice pasti langsung mengajak kami
makan di restoran cepat saji yang menjual makanan berlemak tinggi lalu Anna
dengan segera menolaknya dengan alasan diet. Dan pada akhirnya, setiap pergi
bersama mereka pasti berdebat dan itu membuatku malu terhadap orang-orang yang
menatap kami aneh.
Sejauh
ini misi mereka berhasil, sangat berhasil malah. Sampai-sampai aku sulit
membedakan mana Alice dan mana Anna. Badan mereka seperti tertukar. Beneran,
deh. Katanya, Anna yang berat badan sebelumnya delapan puluh tiga menjadi empat
puluh dua, dan kebalikan dengan Alice. Nggak normal sekali, deh, remaja usia
empat belas tahun beratnya segitu ditambah dengan fakta bahwa mereka baru
melaksanakan misi tersebut selama dua bulan. Anna jarang sekali makan, hampir
tidak pernah, kalau makan paling hanya salad. Kalau Alice, selalu memesan
makanan cepat saji setiap hari. Gila.
Misi
mengubah fisik sudah berhasil, namun perubahan seakan tidak terjadi pada
sosok-sosok yang menjadi alasan dibalik perubahan mereka. Robin dan Haris
bahkan semakin dekat dengan pacar masing-masing dan justru tetap tidak
mempedulikan penggemar beratnya. Sial sekali memang, namun lebih sial lagi –atau
mungkin mengenaskan- kemarin aku mendapat kabar dari mama Anna dan Alice bahwa
mereka masuk rumah sakit. Dan setelah aku tanyakan padanya mengapa mereka dapat
dirawat di rumah sakit, apa katanya? Masalah pencernaan dan berat badan. Anna
yang iritasi lambung akibat tidak pernah makan dan Alice yang obesitas dan
sakit perut akibat dari makanan cepat saji yang tidak ada sehatnya sedikitpun.
Dan dokter memaksa mereka untuk mengembalikan berat badan dengan cara medis,
entah bagaimana.
Dan
di sini, lah, aku sekarang. Dalam perjalanan pulang menuju istana si kembar.
“Diet,
sih, diet, pingin gemuk, sih, pingin gemuk, tapi caranya ngawur. Kenapa, nggak, bersyukur
saja sama badan kamu masing-masing? Toh masih banyak cowok di luar sana, tidak hanya Haris sama Robin.”
“Tahu
begitu kenapa kamu tidak melarang kita dari dulu, Rib? Kan, tidak akan seperti
ini jadinya,” protes Anna yang di balas dengan anggukan adiknya.
Ups!
Aku juga salah.
Thank youuuu!! :)xx
No comments:
Post a Comment