*Lindsay Ong point of view*
Kegelapan mulai sirna bersamaan dengan datangnya sinar-sinar matahari yang mulai memasuki celah-celah curtain jendela asrama perempuan di IAB. Aku menggeliat dan menguap, membuka kedua kelopak mataku lebar-lebar, mencoba untuk menyingkirkan selimutku yang tebal dari kakiku dan duduk di tepi tempat tidurku. Seperti biasanya, aku selalu melakukan senam sederhana sebelum beranjak meninggalkan pulau kapukku. Kata ibuku, itu dapat meregangkan otot-ototku dan membantunya agar tidak kram, dan kurasa ibuku memang benar.
“Hei, sudah bangun rupanya?” tiba-tiba aku mendengar suara
Lotta saat aku membungkuk untuk menyentuhkan jari-jari tanganku ke
lantai, aku pun mendongak ke arahnya.
“Loh, Lotta, harusnya aku yang tanya ke kamu. Aku tadi baru
saja melihatmu masih tertidur pulas dan malah─mengigau keras,” ujarku
sambil tertawa kecil saat mengucapkan dua kata terakhir.Wajah Lotta
langsung memerah malu. Bibirnya pun sedikit mengerucut.
“Mengigau apa? Menyebut-nyebut nama Loiz ya?” gurau
seseorang dari belakang Lotta yang sebenarnya terdengar aneh dan
membingungkan.Lotta membalikkan tubuhnya.
“Loiz?” tanyaku seraya meliukkan tubuhku ke kiri sedikit,
melihat Maureen yang sedang bersusah payah mencoba untuk bangun dari
tidurnya. Matanya masih menutup.
“Kok bisa sampai Loiz sih?” Lotta memutar kakinya sehingga sekarang dia duduk bersila membelakangiku.
“Ya, iya─kan Encun suka sama Loiz. Mungkin saja─nama Loiz
terbawa dalam mimpinya,” jawabnya santai, tak tahu bahwa ia sedang salah
menanggapi orang.
“Hayo, lagi mbicarain apa sih? Kok namaku disebut-sebut?”
Encun juga mulai terbangun, ia menguap keras, membuat Maureen membuka
matanya dan sadar akan kesalahannya.
“Loh, jadi….” Pembicaraannya terputus oleh tawanya, diikuti
oleh tawaku dan Lotta. Encun diam kebingungan, melihat ketiga temannya
tertawa tanpa sebab.
“Hei, kenapa berisik sekali?” Kami bertiga tetap tertawa geli, tak menghiraukan ucapan Becky.
“Ada apa sih, Cun?” lanjutnya. Aku melihat Encun mengangkat
kedua bahunya, tanda tak tahu. Aku semakin tertawa melihat raut wajah
Encun yang kebingungan. Dahinya berkerut, salah satu alisnya terangkat,
dan mulutnya membuka lebar.
“Hei, hal seru apa yang telah kutinggalkan?” tanya Claire
yang baru saja duduk di tepi tempat tidurnya yang berada di paling
pojok.
“Ah, sudah, lupakan saja,” kesal Maureen setengah tertawa
kecil.Aku mulai berdiri, beranjak mengambil seragamku dari lemari kayu
di dekat Claire. Sambil berjalan, aku tersenyum membayangkan
penelitianku yang baru. Aku sangat ingin berhasil menyelesaikannya,
seperti penelitian-penelitian sebelumnya.
“Kamu kenapa senyum-senyum kayak gitu?” tanya Encun memecahkan bayangan tentang penelitianku.
“Hei, kalian belum menjawab pertanyaanku.” Belum sempat
menjawab, Claire sudah menyelaku, dia terlihat berang, tapi aku tak
menghiraukannya.
“Hari ini aku mau memulai penelitianku tentang tingkat
kejadian menyenangkan dan menyedihkan yang dialami Nye Nye. Kalian tahu
kan, kalau aku sudah punya niat ini sejak lama─tapi karena banyaknya PR
yang harus dikerjakan, aku jadi belum sempat memulainya. Sekaranglah
waktunya yang tepat,” jelasku panjang lebar, penuh semangat.
“Kau terlihat senang sekali─kau suka ya sama NyeNye?”Aku
langsung membalikkan badanku, menghadap Becky yang melontarkan ucapan
itu. Wajahku cemberut. Tanganku sudah menenteng (?) di pinggang, siap
untuk memarahinya.
“Iya, jangan-jangan benar yang dikatakan Becky,” ujar
Claire menahan tawanya, tapi akhirnya tawanya meledak, bersamaan dengan
tawa teman-teman lainnya di dalam kamar. Bibirku semakin mengerucut.
“Sudah-sudah─tak mungkinlah Lindsay suka dengan NyeNye.”
Tiba-tiba terdengar suara Jeanne di sela-sela batuknya. Hanya dialah
yang membelaku.
“Benar itu kata Jeanne,” jawabku segera, saat tahu bahwa masih ada orang yang membelaku.
“Jeanne? Kau terlihat pucat,” ujar Claire. Mendengar ucapan
Claire, semua orang langsung memperhatikan wajah Jeanne dengan seksama,
termasuk aku.
“Iya Jeanne, kamu sakit ya?” tanyaku, mendekatinya dan duduk di tepi tempat tidurnya.
“Sepertinya iya, Lindsay. Badanku terasa sakit semua.
Kepalaku juga sedikit pusing,” ujarnya, suaranya serak sekali, ia juga
terlihat lesu.
“Lalu, apakah kamu mau tetap bersekolah?” tanya Lotta
sambil meletakkan telapak tangannya di dahi Jeanne. Kalian tahu kan,
Lotta memang sering disebut dokter di kelasku dan ia selalu menganggap
tangannya sebagai thermometer. Tapi sampai sekarang yang kutahu,
“thermometer”nya itu selalu diletakkan di dahi, bukan di ketiak. Dan aku
yakin ia tidak akan melakukannya.
“Sepertinya tidak, Lotta,” jawabnya lemas.
“Ya, sudah, kamu istirahat saja, nanti aku yang kasih tahu wali kelas,” kata Encun.
“Terima kasih, Encun.”
Tanpa kami sadari, keheningan terjadi beberapa detik.
“Kenapa kalian diam saja?” tanya Jeanne memandang wajah
kami satu per satu.“Kalian tidak siap-siap ke sekolah?” lanjutnya sambil
melihat jam dinding yang terpasang di depannya. Kami pun ikut
menengoknya. Setelah menyadari bahwa jarum jam menunjuk angka enam, kami
langsung kembali ke tempat tidur masing-masing, merapikannya. Berbeda
dengan aku dan Jeanne. Aku kembali menghadap lemari kayu untuk mengambil
seragam sekolahku dan bergegas keluar untuk mandi. Jeanne menarik
selimut tebalnya kuat-kuat, agar selimut itu dapat menutupi seluruh
tubuhnya, dan ia pun tidur kembali.
***
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa benar-benar tidak ada Gareth dan Jeanne di sekitar kami.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa benar-benar tidak ada Gareth dan Jeanne di sekitar kami.
“Aku yakin, NyeNye hari ini akan senang. Jeanne tidak masuk
sekolah, berarti Gareth tidak akan berpacaran di sekolah. Dengan
begitu, NyeNye dapat kembali bersama Gareth,” seruku sambil terus
melangkah bersama kelima teman sekamarku.
“Iya, ya. Benar juga Lindsay. Tapi bagaimana Gareth?” tanya
Lotta. Aku yakin sebenarnya ia tahu jawaban dari pertanyaan itu, tapi
mungkin ia hanya mencoba menanggapi pendapatku.
“Tentu saja ia sedih. Loiz juga pasti sedih,” jawab Encun segera.
“Cie… Cie…” Becky langsung menyorakinya.
“Apaan sih.” Wajah Encun merona merah di pipinya.
“Hei, kalian. Apa benar Jeanne hari ini gak masuk?”
tiba-tiba NyeNye muncul di depan kami. Aku bisa melihat aura wajahnya
yang berseri ketika mendengar Claire menjawab, “Iya.”
“Wah, kalau begitu Gareth bisa sama aku lagi dong,” jawabnya senang.
“Hei NyeNye, kok kamu jahat sih? Kasihan Jeanne dong,” ujar Maureen saat melihat raut wajah NyeNye yang terlihat gembira.
“Ya─iya, sih─tapi harusnya kalian juga kasihan sama aku.
Sudah berminggu-minggu aku dikacangi, tidak diperhatikan, tidak digagas
sama Gareth gara-gara dia pacaran sama Jeanne. Hubungan kami terputus,
seperti hati yang terbelah dua. Hidupku jadi hampa tanpa dia.” Ia
langsung menggerutu tidak jelas dengan kata-kata puitisnya.
“Berarti itu salah Gareth, bukan salah Jeanne,” marah Becky.
“Kenapa kalian tidak ada yang membelaku?” ujarnya kesal, lalu berjalan meninggalkan kami.
***
Aku terus memandangi NyeNye ─yang sedang duduk di bangku deretan paling kiri─dari kejauhan. Aku bingung, kenapa NyeNye tidak mendekati Gareth yang jelas-jelas lagi sendirian. Bukannya tadi NyeNye sudah merasa senang ketika mendengar Jeanne tidak masuk. Ini sungguh aneh. Jangan-jangan, NyeNye merasa tersinggung dengan kata-kata Maureen tadi. Ia tidak mau dibilang jahat karena senang akan ketidakhadiran Jeanne dan malah mendekati Gareth untuk membujuknya kembali berhubungan.
Aku terus memandangi NyeNye ─yang sedang duduk di bangku deretan paling kiri─dari kejauhan. Aku bingung, kenapa NyeNye tidak mendekati Gareth yang jelas-jelas lagi sendirian. Bukannya tadi NyeNye sudah merasa senang ketika mendengar Jeanne tidak masuk. Ini sungguh aneh. Jangan-jangan, NyeNye merasa tersinggung dengan kata-kata Maureen tadi. Ia tidak mau dibilang jahat karena senang akan ketidakhadiran Jeanne dan malah mendekati Gareth untuk membujuknya kembali berhubungan.
Aku menghela napas. Dalam hati aku hendak mencari Claire
dan teman-teman yang sedang jajan di kantin untuk menanyakan hal itu.
Aku menengok ke kanan sebelum berdiri dan beranjak meninggalkan tempat
dudukku.
“Eh, Loiz, kamu dari tadi di sini?” tanyaku kaget, melihat Loiz duduk di sampingku dengan wajah sedih dan putus asa.
“Iya, Lindsay,” jawabnya sambil melirik ke arahku sebentar lalu menunduk lagi.
Sejenak aku memerhatikannya, lalu menanyainya, “Kamu kenapa sih? Kok sedih begitu?”
Dia menghembuskan napas, dan menjawab, “Tak apa-apa.”
Aku tahu ia berbohong. Menurutku, Loiz salah satu orang
yang tak pandai berbohong. Malah surveiku membuktikan bahwa Loiz adalah
anak yang paling lemah dalam aksi “membohongi orang”. Itu hasil
penelitianku yang sudah lama kulakukan. Setelah kupikir-pikir lagi,
sepertinya itu malah penelitianku yang kedua saat aku duduk di bangku
kelas tujuh di IAB, berarti sudah lama sekaliii…
“Jangan bohong, Loiz. Ayo, ceritakan saja─mungkin aku bisa
membantu,” ujarku membujuknya untuk mengucapkan yang sebenarnya terjadi.
Dia tetap diam membisu.“Loiz, ayolah. Aku berjanji akan
membantumu,” lanjutku. Sebenarnya aku ragu dengan kata “berjanji” yang
kuucapkan, karena aku tak tahu apa masalah yang dihadapinya. Tapi
menurutku, masalah Loiz sepertinya selalu berhubungan dengan perilaku
NyeNye yang selama ini selalu mengacuhkannya. Kalau sampai benar, itu
akan membantuku menyelesaikan penelitian baruku. Oleh karena itu, aku
sangat berharap ia dapat bercerita kepadaku.
“Sebenarnya begini Lindsay,” ujarnya memulai.
“Hu-uh,” jawabku meyakinkan bahwa aku mendengarnya dengan seksama.
“Aku sudah mulai putus asa dengan NyeNye.”
“Hah? Putus asa?” tanyaku memberhentikan pembicaraannya.
“Maaf, lanjutkan saja,” sambungku segera.
“Aku merasa, NyeNye memang tidak mau berteman denganku.
Berkali-kali aku mencoba mendekatinya, menghiburnya saat ia kesepian di
tinggal Gareth. Tapi ia selalu bertindak yang sama. Meninggalkanku yang
baru menemaninya─semenit.” Aku merasa kasihan dengannya. Raut wajahnya
menunjukkan bahwa ia benar-benar sedang dilanda kesedihan.
Memang sih, Loiz dari dulu terlihat ingin berteman dengan NyeNye. Ia selalu mencoba menghibur NyeNye dengan kata-kata alay-nya.
“Dari kelas tujuh, aku memang ingin menjadi temannya. Tapi
aku tahu, kesempatanku sangat kecil karena Gareth selalu berada di
sampingnya. Namun saat kelas delapan, aku melihat Gareth mulai
melupakannya karena ia berpacaran dengan Jeanne, tapi tetap saja tidak
membukakan kesempatanku untuk menjadi temannya,” sambungnya panjang
lebar.
“Loiz, bukankah kita semua ini teman? Berarti kau dan NyeNye juga teman.”
“Maksudku teman dekat, Lindsay.”
“Oh─jangan putus asa Loiz. Mungkin saja NyeNye sedang sakit
hati karena ia ditinggal Gareth, jadi ia tidak mau menerima siapa saja
yang mendekatinya."
Aku mulai menghiburnya.
"Tapi ia juga dekat dengan Claire, Lotta, Maureen, dan lainnya. Hanya aku yang tidak diterimanya.”
Ia coba meyakinkanku bahwa pendapatku itu salah.
“Maksudku─terutama bila yang mendekatinya cowok. Mungkin ia
trauma dengan sahabat cowok.” Aku mulai mengada-ngada. Aku tak tega
melihat raut wajah Loiz yang semakin lama semakin terlihat sedih dan
muram.
“Sepertinya tidak,” jawabnya lagi.
“Ayolah Loiz, jangan seperti itu─Lihat! NyeNye lagi
sendirian di sana. Coba kamu temani dia,” saranku dengan putus asa
juga.Loiz melihat arah jari telunjukku yang menunjuk NyeNye, tapi ia
menggelengkan kepalanya.
Aku melihat Claire dan teman-teman masuk ke kelas. Aku
memutuskan untuk mendekati mereka saja. Aku sudah mulai putus asa dengan
Loiz. Ia sangat sulit dibujuk.
“Ya udah Loiz, aku mau bergabung sama Claire dan kawan-kawan. Kau mau ikut?”
“Nanti saja aku menyusul.”
Aku meninggalkan Loiz yang masih duduk termenung di
kursinya. Banyak sekali yang ingin kusampaikan ke teman-teman. Banyak
juga yang ingin kutanyakan kepada mereka. Hal itu membuatku sedikit
melupakan Loiz. Ya, sedikit. Karena hal-hal yang akan kubahas dengan
mereka beberapa juga berhubungan dengan Loiz, tapi kebanyakan memang
NyeNye sih.Claire dan teman-teman duduk di bangku bagian belakang kelas.
Aku menghampirinya dan langsung duduk bertopang dagu di sebelahnya
sambil melihat NyeNye.
“Ngliatin NyeNye?” tanya Becky menggodaku lagi.
“Iya, buat penelitian,” jawabku sambil terus memandang NyeNye yang sedang duduk sendirian.
“Buat penelitian apa kamu memang suka?” Lagi-lagi Claire ikut membela Becky, menggodaku.
“Hehh, beneran buat penelitian, Claire,” jawabku. Kali ini
menoleh, mengganti pandanganku menjadi wajah Becky dan Claire yang masih
asyik tersenyum-senyum tidak jelas.
“Kalian tahu gak?” tanyaku memulai pembicaraan yang serius.
“Apa?” tanya mereka serentak.
“Sttt, jangan berisik, nanti NyeNye dan Loiz tau,” jawabku menenangkan mereka.
“Jadi begini, sebenarnya ….” Pembicaraanku terputus ketika
mengetahui NyeNye berjalan ke arah tempat duduk di mana kami sedang
berkumpul.
“Lupakan,” sambungku segera. Aku tak ingin penelitianku ini ketahuan NyeNye.
“Hai, teman-teman,” sapanya lesu. Ia tampak tidak
bersemangat.Tidak ada dari kami yang menyapanya balik. Entah kenapa, aku
pun tak tahu. Aku juga tidak membalas sapaannya. Aku takut Becky akan
menganggap balasanku adalah hal yang istimewa, padahal sebenarnya tidak.
“Hai, Nye. Hai, teman-teman.” Tiba-tiba Loiz datang
menghampiri kami. Ia langsung bergaya alay di depan kami semua, termasuk
di hadapan NyeNye.
Sejak kedatangan Loiz, secara sadar aku menggerakkan
kesepuluh jari tangan kananku, menekuknya satu per satu seiringan dengan
berjalannya waktu. Aku mau menghitung, apa benar yang diucapkan Loiz,
bahwa NyeNye akan meninggalkannya semenit sesudah ia datang.
“Hai juga,” sapa Encun dengan wajah polosnya.Mata Claire,
Becky, Maureen, dan Lotta langsung melirik licik ke arah Encun. Aku
menoleh, melihat semua bibir mereka tersenyum, menunjukkan maksud bahwa
sebenarnya mereka ingin berkata “Ciee… Ciee…” tapi tidak bisa, karena
situasi sedang tegang.
“Apa?” tanya Encun bingung, suaranya pelan.Tik tok tik tok…
Suasana hening tercipta kembali. Aku tetap fokus menggerakkan
jari-jariku. Menurut perhitunganku, waktu sudah berjalan 50 detik sejak
Loiz datang, tapi tak ada tanda-tanda bahwa NyeNye akan pergi
meninggalkan kami semua. Baru setelah detik ke-55, dia menghembuskan
napas kesal lalu berdiri dari kursinya tepat pada menit pertama dan
beranjak pergi sedetik kemudian.
“Benarkan Lindsay,” kata Loiz yang ikut-ikutan pergi
menjauh. Sebenarnya aku ingin membantahnya, karena perhitungan Loiz
salah. NyeNye meninggalkannya satu detik lebih dari perkiraannya. Tapi
apa boleh buat, tak mungkin aku mengatakannya dalam situasi seperti ini.
“Haduh, gimana ini? Aku jadi gak enak sama NyeNye dan Loiz,” ujarku, menepuk dahi.
“Emang kenapa?” tanya Maureen meminta penjelasan.“Aku
kasihan Loiz─dia selalu dicuekin NyeNye─malah lebih parah jika
kupikir-pikir lagi. Menurutku, NyeNye justru membencinya, bukan lagi
menyuekinya. Setiap Loiz datang, katanya semenit setelah itu─NyeNye
pergi darinya. Walaupun sebenarnya kalau aku hitung semenit lebih satu
detik. Tapi….”
Penjelasanku terputus oleh Lotta yang secara tiba-tiba
mengajukan pertanyaan tak pentingnya. Ia menyelaku dan bertanya, “Kau
menghitungnya benar Lindsay?” Otomatis aku mengangguk dan melanjutkan
pembicaraan serius ini.
“Tapi di sisi lain, aku kasihan juga sama NyeNye. Menurut
penglihatanku, dia sudah tak mau mendekati Gareth. Padahal tadi pagi
kalian dengar sendiri kan, kalau dia senang mendengar bahwa Jeanne tidak
masuk─dan kalian tahu artinya sendiri lah. Apa ya, yang menyebabkan
NyeNye jadi gak mau sama mendekati sahabat lamanya?”
“Well, sebenarnya kemarin ada kejadian yang menyedihkan,
menurutku. NyeNye secara tidak sengaja membuka rekaman video-video indah
waktu kelas 7 yang kau buat itu. Kamu sudah mencegahnya untuk tidak
melihatnya, tapi NyeNye tetap memutarnya. Dan setelah dia melihat
semuanya─dia berkata bahwasepertinya Gareth bukanlah sahabat sejatinya
yang sebenarnya. Menurutku, itu yang membuat NyeNye sudah tak mau
bersahabat dengan Gareth lagi.” Becky menjelaskan panjang lebar.
“Ohh, jadi itu penyebabnya. Kukira tadi NyeNye tidak mau
mendekati Gareth gara-gara perkataan Maureen tentang NyeNye jahat karena
senang mendengar Jeanne tidak masuk. Kalian tahu lah apa maksudku.”
Becky mengangguk, diikuti anggukan beberapa teman di sekitarnya.
“Lalu─apa yang dimaksud Loiz tadi?” tanya Lotta tiba-tiba.
“Yang mana?” tanyaku bingung, mengingat-ingat lagi apa saja yang dikatakan Loiz kepadaku.
“Yang itu lho benarkan Lindsay,” katanya dengan suara yang dibesar-besarkan, agar sama seperti suara Loiz.“
Oh, itu─Hmm, nanti aja ya aku beritahunya. Bentar lagi
pelajaran nih, aku belum siap-siapin bukunya,” ujarku saat sekilas
melihat jam tanganku.“Ah, Lindsay, jangan begitu, aku jadi penasaran,”
kesal Lotta. Wajahnya terlihat sangat kecewa.“Kan jam pulang sekolah
sebentar lagi, tunggu bentar lah,” ujarku lagi. Aku tetapngotot (?)
ingin memberitahu mereka sepulang sekolah.
“Aku ada ekstrakulikuler,” kata Lotta.
“Aku juga,” kata Encun menyusul.
“Iya, aku juga.” Diikuti Becky, Maureen, dan Claire yang menjawab serentak.
“Untung saja aku free. Hehehe…” ejekku, menjulurkan lidahku yang pendek sekuat tenaga.
“Ahh, menyebalkan kau.” Claire mulai bergerutu.
“Hahahaa, selamat ber-penasaran ria,” ujarku mengejek
sekali lagi. Lalu aku meninggalkan mereka yang masih terlihat ingin
sekali mendengar ceritaku.
Hello! We come back again to bring Nye Nye next chapter. It was made by Febby as Lindsay. Thankyou so much for your time reading this! Lots love!!
Hello! We come back again to bring Nye Nye next chapter. It was made by Febby as Lindsay. Thankyou so much for your time reading this! Lots love!!
No comments:
Post a Comment