*Lindsay Ong point of view*
Aku sudah selesai
mengobati rasa penasaran semua teman sekamarku ─Claire, Becky, Maureen, Encun, Lotta, dan
Jeanne yang sebenarnya tidak penasaran (jelas… Kan dia tidak masuk sekolah hari
ini, jadi tidak tahu ─masalah apa yang membuat teman-teman lainnya merasa
begitu penasaran─).
Saat itu aku sedang menata buku pelajaranku,
ketika tiba-tiba Claire mendobrak pintu kamar, membantingnya keras-keras dan
segera menguncinya, membuat Jeanne yang sedang sakit terbangun. Katanya, NyeNye
sedang mengejarnya dengan alasan ingin menjadikan Claire teman curhatnya
selesai dari latihan sepak bola. Beberapa menit ia duduk di atas tempat
tidurnya dengan napas terengah-engah, setelah itu ia memintaku menceritakan
tentang perkataan Loiz tadi pagi. Karena Jeanne sudah bangun, jadi ia juga
mendengar ceritaku. Dengan begitu, rasa penasaran Claire sudah terobati.
Sedangkan Becky, Maureen, Encun, dan Lotta juga sudah mendapat keterangan
tentang ucapan Loiz saat mereka duduk di ruang belajar
IAB bersamaku.
“Hai.” Aku menyapa Claire
yang baru saja masuk ke ruang belajar.
“Hai juga─kalian ngapain sih, kok berkumpul kayak gitu?” tanyanya, melihat
kami yang duduk bergerombol.
“Hahahaa─kamu ketinggalan cerita Loiz deh.” Lotta tertawa puas. Sangat
puas.
“Hahahaa─aku tadi udah diceritain sebelumnya tuh,” Claire membalas,
memudarkan wajah puas Lotta seketika.
“Sial,” jawabnya
cemberut, menopang dagunya, lalu mulai mengerjakan PR matematika.
“Kau lagi apa?” tanya Claire
yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Ia menatap lembaran putih yang sudah aku
tulisi dengan beberapa kalimat. Sebenarnya kertas itu sudah aku beri judul
dengan huruf yang besar-besar dan kutulis tebal, tapi sepertinya tangan dan
bolpenku menutupinya. Jadi kuangkat keduanya lalu menjawab Claire, “Lagi nulis
hasil penelitian hari ini.”
“Hah? Penelitian tentang
NyeNye itu?”
Belum sempat menjawab, ia
sudah menyambar kertas itu dari mejaku, dan membacanya keras-keras, membuat
semua anak yang sedang duduk di ruang belajar menghentikan aktivitasnya lalu
mendengarkan Claire.
“PENELITIAN LINDSAY ONG KE-12─Mengetahui Tingkat Kejadian Menyenangkan dan Menyedihkan yang Dialami NyeNye.” Dia memulai, suara sedikit dibesar-besarkan.
“Satu,” ucapnya keras.
“DATA-DATA─Berikut
adalah data-data yang dapat menunjang penelitian ini:”
Claire menegakkan tubuhnya,
dan mulai membaca lagi.
“NyeNye merasa sangat senang
ketika mengetahui bahwa Jeanne tidak masuk sekolah. Menurutnya, Jeanne adalah
penyebab dari rusaknya hubungan persahabatan antara NyeNye dengan Gareth, pacar
baru Jeanne.”
“Wah, Lindsay, kalau Jeanne sampai membaca
ini─bisa gawat nih. Aku─” ucap Lotta setelah mendengarkan Claire mengucapkan
data pertama dari penelitianku, memutus “pidato” Claire, dan membuat sedikit
keributan di ruang belajar IAB.
“Oleh
karena itu aku berencana menyembunyikan hasil penelitian ini. Dan─sebenarnya
aku tidak setuju dengan tindakan Claire yang membacakannya keras-keras, walau
Jeanne tidak ada di ruangan ini. Tapi itu juga bisa membuat NyeNye tahu jika ia
tiba-tiba masuk ke sini. Aku tak ingin dia tahu tentang penelitian ini.” Aku
menyela ucapan Lotta dengan tegas dan dengan marah menatap wajah Claire.
“Apa?”
jawab Claire melihat tatapan kesalku padanya. “Lihat tuh wajah mereka semua,
penuh ekspresi ingin tahu─udah ah, lanjutin aja.” Lagi-lagi aku belum sempat
menjawab, Claire sudah membacakan lagi kelanjutan dari data penelitianku.
“Dua─NyeNye
merasa sedih dan sedikit marah ketika Maureen menganggapnya jahat karena
menurutnya, NyeNye senang melihat Jeanne jatuh sakit dan tidak masuk sekolah.
NyeNye mengira, tidak ada yang membelanya, mendukung persahabatannya dengan
Gareth.”
“Oh, jadi NyeNye merasa
tersinggung karena aku bilang jahat kepadanya.” Sekarang Maureen yang menyela
Claire. “Ya memang benar kok, NyeNye jahat sama Jeanne,”sambungnya segera,
wajahnya terlihat kesal.
“Tiga─NyeNye
tetap kuat pada keyakinannya tentang Jeanne sebagai perusak hubungannya,
walaupun Becky sudah mengatakan bahwa Gareth lah yang bersalah dalam masalah
tersebut.”
“Wah, namaku ada di dalam penelitian,” teriak
Becky aneh, memutus lagi “pidato” Claire beberapa detik. Setelah itu Claire
menyambungnya kembali.
“Empat─NyeNye tidak menggunakan
kesempatannya untuk mendekati Gareth lagi sewaktu Jeanne tidak masuk sekolah.
Penyebabnya adalah rekaman video-video indah saat kelas 7, yang dibuat oleh
Lindsay Ong. NyeNye memutarnya kembali dan menganggap bahwa Gareth bukan
sahabat sejatinya setelah selesai melihat video itu.”
Claire tiba-tiba berhenti.
Suasana hening terjadi beberapa detik, hingga akhirnya Claire berkata, “Sudah?
Tak ada yang mau mengomentari?” Lagi-lagi keheningan menyelimuti ruangan. “Dari
tadi setiap aku selesai membacakan SATU nomor saja, pasti ada yang menyelaku.
Huh─sebal,” sambungnya segera,
melihat wajah-wajah kami yang kebingungan dengan tingkah lakunya.
“Hei, jangan ketawa,”
kesalnya, melihat aku dan beberapa teman di sebelahku menahan tawa.
“Sudahlah, masa begitu saja
marah,” ujarku meredakan amarahnya.
“Aku tidak marah,” kesalnya
lagi. Bibirnya sedikit mengerucut.
“Lha itu wajahmu terlihat marah,”
ejek Encun.
“Ah─sudahlah, aku lanjutin saja.”
“Lima─NyeNye tidak suka Loiz
mendekatinya. Ia selalu meninggalkan Loiz ± semenit kemudian.”
Claire diam sedetik, memandang
satu per satu wajah kami.
“Kenapa lagi?” geram Encun.
“Sudah habis─Hanya ada angka enam di sini,
tapi gak ada tulisannya sama sekali,” jawab Claire, lalu melirikku yang sibuk
menggoyang-goyangkan tangan kananku di depan wajahnya.
Dengan ketus, ia bertanya, “Ada
apa?”
“Aku hanya ingin bilang, kalau
yang nomor lima tadi, aku gak tahu alasannya─Ada
yang tahu?” tanyaku, menggerakkan bola mataku ke arah semua orang yang
berkumpul di dekatku.
“Karena Loiz alay banget,”
kata seseorang, suaranya samar-samar.
“Apa?”tanyaku dengan maksud
memperjelas ucapan orang itu.
“Iya, itu alasannya.” Ternyata
Encun yang mengucapkannya tadi. Suaranya tadi tidak begitu jelas karena ia
sedang terkena flu, dan suaranya jadi sedikit aneh karena hidungnya tersumbat.
“Ya apa?─Suaramu tadi gak jelas,” mintaku untuk mengulanginya.
“KARENA LOIZ ALAY BANGET,”
teriaknya, membentakku.
“Oh─iya, iya─jangan marah-marah dong,” balasku melihat ekspresi yang tampak dari wajahnya.
“thanks─nanti aku tambahin” Aku
menarik kertasku dari tangan Claire. Ia sepertinya merasa sangat kaget ketika
aku menarik kertas itu, tapi aku tak menghiraukannya.
“Hai teman-teman.” Tiba-tiba aku mendengar sapaan itu dari pintu ruang belajar IAB yang baru saja terbuka. Tak salah dan tak bukan lagi, itu suara─NyeNye.
Ia masuk ke dalam ruangan,
diikuti oleh Loiz dibelakangnya. Aku tidak melihat sosok Gareth sama sekali.
“Kalian sedang apa sih? Kok
ngumpul-ngumpul gitu?”
Ia mendekat.
Membuat hati kami semakin gugup. Tak tahu ingin menjawab apa, kami hanya bisa terdiam, melihat kakinya yang semakin mendekat.
“Kami hanya sedang─tanya─tanya─” Becky menyelamatkan kami. Tapi
sepertinya ia masih bingung ingin menjawab apa.
“Tanya PR matematika ke
Lindsay. Dia kan jago, iya kan Lindsay?” Lotta membantu Becky menjawab
pertanyaan NyeNye.
“Iya,” jawabku spontan,
tak tahu bahwa jawabanku itu menandakan bahwa aku setuju dianggap sebagai murid
yang jago matematika. Aku langsung menyambungnya setelah menyadari semua itu,
“Eh─bukan gitu─maksudku, mereka memang sedang berdiskusi denganku tentang PR
matematika. Tapi bukan berarti aku jago matematika. NyeNye lebih jago lah.”
Sekarang semua mata
memandang NyeNye yang sedang berdiri di belakang Encun. Memanfaatkan kesempatan
ini, aku segera membalik kertas hasil penelitianku. Berharap, tadi NyeNye tidak
melihatnya saat masih terbuka.
NyeNye tersenyum lebar.
Aku tak
menghiraukannya. Menurutku, hal yang terpenting sekarang adalah pergi dari
ruangan ini, menghindari NyeNye bertanya yang aneh-aneh tentang lembaran yang
baru saja kututup itu. Aku tidak mau NyeNye tahu tentang penelitianku ini,
karena itu akan membuatnya tersinggung, merasa bahwa selama ini aku
memata-matainya jika ia berpikir negatif, atau mungkin─ia malah menganggapku
fans beratnya sehingga aku melakukan penelitian tentang dia. Oh, tidak.
Keduanya tidak boleh muncul dalam pikirannya.
Dengan cepat aku memberesi meja belajar yang kupakai. Memasukkan kertas penelitianku di tengah-tengah tumpukan kertas yang kubawa.
“Ya sudah─kan NyeNye
sekarang sudah di sini. Kalian bisa berdiskusi dengan NyeNye. Aku mau balik ke
kamar. Kasihan Jeanne sendirian,” ujarku mencari alasan, agar “aksi kabur”ku
tidak terlihat aneh.
Gigi putih NyeNye
sekarang semakin terlihat. Ia memperlebar senyumannya, sangat siap untuk
menggantikan posisiku.
***
Aku berjalan sendirian
di lorong asrama menuju kamarku. Dengan perlahan-lahan, aku menaiki tangga,
membawa beberapa lembar ringkasan dan buku latihan matematika yang hampir
jatuh, dengan susah payah.
“Perlu bantuan?” tanya
seorang laki-laki dari belakangku, membuatku terlonjak kaget, sehingga buku
latihan matematikaku jatuh ke kakinya.
Aku membalikkan badanku, dan mengetahui bahwa laki-laki itu adalah─Gareth.
Dia mengambil bukuku
dan menaruhnya di atas tumpukan lembaran-lembaran yang aku bawa.
“Thanks,” ucapku seraya
tersenyum manis.
“Mau ke kamar ya?”
Aku mengangguk.
“Oh, ikut ya─aku mau
nengokin Jeanne.”
Lagi-lagi aku
mengangguk, lalu berjalan mendahuluinya.
“Teman-teman lagi di
kamar ya?” tanyanya di sela-sela perjalanan singkat kami.
“Oh, enggak. Mereka
lagi di ruang belajar, ngerjain PR matematika bareng NyeNye dan Loiz.”
“Oya, lupa─ada PR mat, ya─duh, belum ngerjain lagi.” Ia memukul pelan dahinya dengan telapak tangannya yang besar.
“Lha kamu tadi gak diajak sama NyeNye?”
“Tidak,” jawabnya segera. “Beberapa hari ini sikap NyeNye berubah. Dia seperti tidak mau bergaul denganku.”
“Oh─”
“Mending kamu aja yang
masuk. Aku tunggu di luar aja,” kata Gareth, menyusutkan keinginanku untuk memberitahu dia alasan
‘mengapa NyeNye berubah seperti itu’.
Aku masuk ke kamar,
lalu keluar lagi setelah beberapa saat.
“Gareth, Jeanne masih tidur tuh, mau aku bangunin apa gak?” tanyaku melihat Gareth yang sangat ingin bertemu dengan Jeanne.
“Gak, gak, gak─biarin
dia tidur aja,” jawabnya segera, mencegah langkahku untuk berbalik dari
hadapannya dan membangunkan Jeanne.
“Ya, udah─begini saja,
nanti kalau Jeanne sudah bangun, aku bakalan bilang ke dia kalau kamu tadi
nengokin dia. Nanti aku cari kamu juga, biar kamu bisa ketemu sama dia.
Bagaimana?” usulku saat melihat wajahnya yang mulai terlihat sedih.
“Oke, Lindsay─thanks
ya.” Wajahnya bersinar kembali.
“Ya sudah, aku ke ruang belajar dulu. Mau ngerjain PR mat. Nanti kalau aku gak ada di kamar, berarti aku di sana. Oke?” sambungnya segera, lalu ia pergi setelah melihat aku mengangguk.
***
“Yah, gimana sih, kok kamu gak tutup aja pintunya, trus bilang ke Gareth yang sebenarnya?” tanya Becky tiba-tiba setelah aku selesai menceritakan kejadian sore tadi. Ia mengekspresikan kekesalannya terlalu berlebihan, mendobrak meja belajarku dan membuat beberapa bukuku melayang, termasuk buku sejarah yang membuatku balik lagi ke ruang belajar.
“Kau terlalu berlebihan,” ucapku melihat aksinya.
“Iya, nih, Becky
lama-lama kayak Loiz.─alay,” kata Lotta, ikut mendukung pendapatku.
“Ah, aku kesal.
Seharusnya Lindsay bilang ke Gareth. Dengan begitu, NyeNye jadi gak galau lagi,
trus kita gak perlu ndengerin dia curhat dengan bahasa puitisnya itu. Iya kan
Maureen?” tanya Becky, mencari pendukungnya.
Maureen hanya
mengiyakan dengan malas.
“Tapi sebenarnya mereka gak jadi ketemuan. Jeanne masih tidur, jadi dia putuskan untuk tidak mengganggunya.” Aku terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Sebenarnya aku sudah punya keinginan buat cerita lagi, tapi Gareth bilang kalau dia mau ngerjain PR matematika. Jadi aku juga gak mau mengganggunya.”
“Lalu bagaimana? Aku
sudah males nih, denger curhatannya NyeNye.” Encun memelas, menopang dagunya
dengan kedua tangannya.
“Kau saja malas, Cun.
Apalagi aku yang lebih sering dijadikan teman curhatnya. Setiap latihan sepak
bola dia selalu mendekatiku dan menceritakan hal-hal yang membuatnya galau,
membuatku sering terkena hukuman dari Miss Millan. Dan kadang, hal yang
diceritakan itu sama dengan sebelumnya. Hanya saja, ia membawakannya lebih
puitis,” keluh Claire, menyandarkan tubuhnya pada kursi yang didudukinya.
“Kalau begitu, kita harus berusaha bilang ke Gareth tentang semua ini.” Encun mulai menyampaikan usulnya, membuat hati kami bergairah lagi.
“Iya, betul kata Encun.” Becky menganggukan kepalanya.
“Setuju, setuju.”
Claire ikut menyetujuinya.
“Tapi bagaimana
caranya? Kita bisa menyakiti hati Jeanne,” tanyaku di sela-sela kesenangan yang
terpancar di wajah mereka.
“Kok bisa menyakiti
Jeanne?” tanya Encun.
“Ya, jelas─Jeanne
selalu berada di samping Gareth. Kalau kita bilang ke Gareth, otomatis Jeanne
ikut mendengarkannya,” jelas Lotta.
“Tapi kan Jeanne tidak
selalu berada di samping Gareth, Lotta.” Encun menentang pendapatku dan Lotta.
“Hello?─mereka itu
kayak mimi dan mintuna, kemana-mana selalu bersama. Duduk aja juga selalu
bersebelahan.” Lotta mencibir.
“Memang mereka tidur
bareng?─Enggak kan?─Berarti gak selalu bareng dong,” ujar Encun kesal, warna
merah semburat sudah tampak di wajah dan telinganya, seperti sudah ingin
memarahi Lotta saja.
Sejenak kami tertawa
mendengar ucapan Encun yang menampilkan wajah-tanpa-dosa dan polos. Lalu
Maureen segera berbicara, “Well─sebenarnya ini ide yang tidak baik.” Ia
berhenti beberapa detik. “Berharap kalau Jeanne besok masih belum masuk
sekolah, jadi kita bisa bilang ke Gareth kapan saja,” lanjutnya tegas, memberi
solusi kepada kita.
“Aduh─kasihan juga ya
Jeanne, jadi korban.” Claire berkata putus asa, menganggap bahwa ide Maureen
memang satu-satunya jalan yang terbaik.
“Mau bagaimana lagi?”
Maureen menatap mata kita satu per satu, meminta pendapat atas idenya.
Aku mengangguk lunglai.
“Sepertinya itu yang terbaik.”
Lotta, Encun, dan Becky
ikut mengangguk, bersamaan.
***
Hai! Ini part kedua dari Lindsay's New Research yang masih ditulis sama Febby.
Anyway, we need your comment guys, we need to know how cool we write.
After this, we'll have a chapter written by Lotta or Sekar. Just wait okay!
Lots love! Lots thanky!
No comments:
Post a Comment