[author : Maria Sekar]
*Carlotta deQuez’s Point of View*
Aku duduk bersila di atas tempat tidurku yang dilapisi seprai putih
lembut, kedua mataku masih terbuka lebar. Semua teman sekamarku sudah
ada di alam mimpi, sedangkan disinilah aku, masih terjaga di dalam kamar
nomor 24 yang kutempati bersama enam gadis lain – Becky, Claire, Encun,
Jeanne, Lindsay, dan Maureen. Aku ingin tidur, tapi tidak bisa. Mungkin
ini terjadi karena siang tadi aku sudah tidur saat pelajaran Sejarah
dan Geografi. Mungkin juga karena IQ-ku terlalu tinggi. Well, aku pernah mendengar kutipan yang mengatakan ‘People with high IQ’s tend to stay up later during the night because of increased mental stimulation.’
(Oke, ini memang agak menyombong sedikit). Mungkin ini juga yang
membuatku sering tertidur di kelas atau dimanapun saat siang hari,
sehingga aku terkenal sebagai tukang tidur di IAB.
“Tidak, Mrs. Sam! Saya sudah capek!”
Huah. Claire mengigau lagi. Aku menengok ke kanan dan langsung
terlihat olehku Claire yang meringkuk di bawah selimut. Dahinya berkerut
dan bibirnya bergerak-gerak tak jelas. “Saya baru saja selesai lari
berkeliling dua belas kali, dan saya tidak mau lari lagi!”
Beberapa hari ini Claire memang sering mengigau tentang latihan
sepakbolanya. Mungkin dia terlalu banyak latihan sehingga kecapaian.
Apalagi di akhir semester musim panas ini akan ada turnamen sepakbola
antar sekolah, sehingga Mrs. Sam, guru olahraga kami, mengadakan banyak
sekali latihan untuk tim sepakbola IAB.
Walaupun begitu, sekolah kami – yah, setidaknya aku dan teman-teman
sekelasku – sangat bangga terhadap kapten tim sepakbola putri IAB ini.
Dia adalah striker yang hampir selalu bermain dengan bagus.
Tidak seperti aku yang tiap kali menendang bola selalu keluar dari
lapangan. Itu kalau aku beruntung. Kalau sedang sial biasanya malah
sepatuku yang terlempar keluar dari lapangan, dan bolanya tetap diam tak
bergeming di depanku. Padahal, kalau dilihat dari sejarah namaku,
harusnya aku bisa bermain bola dengan sangat baik.
Walaupun berdarah Spanyol, ibuku sangat mengidolakan tim sepakbola nasional Jerman. Saat mengandung aku, beliau baru ngefans
berat dengan Lothar Matthaeus, kapten timnas Jerman ketika itu. Waktu
itu sebenarnya beliau bertekad menamaiku Lothar – ibuku sangat yakin
bahwa anak yang ada dalam kandungannya adalah seorang laki-laki. Tapi
ternyata aku lahir sebagai bayi perempuan, sehingga nama Lothar harus
diubah sedikit menjadi Lotta. Agar lebih feminin, ibuku menambahkan
‘car’ di depan ‘lotta’. Akhirnya namaku menjadi Carlotta.
Kamar sunyi senyap; rupanya Claire sudah berhenti mengigau. Tapi aku
masih belum bisa tidur, jadi kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar.
Sinar bulan yang menyusup masuk lewat celah-celah pada tirai membantuku
mengenali teman-temanku yang sedang tidur. Claire tidur di sebelah
kananku. Di sebelah kiriku, Lindsay tidur sambil memeluk buku yang
digunakannya untuk mencatat hasil penelitian. Tangannya yang
bergerak-gerak masih menggenggam pulpen yang biasa dia gunakan untuk
menulis. Pasti dia sedang bermimpi melanjutkan penelitiannya tentang
Nyenye, atau memulai penelitian baru. Lalu ada Maureen, si Narsis dari
IAB yang hobi selfie dimanapun dan kapanpun, yang tidur dengan mulut melengkung membentuk senyum. Tak tahu deh dia mimpi apa, mungkin mimpi sedang selfie.
Kulihat Encun hanya sendirian di atas tempat tidurnya – benar-benar
sendirian – karena bantal, selimut, bahkan seprainya sudah terlepas dan
terlempar ke lantai. Pasti gerakannya saat tidur terlalu brutal.
Kemudian Becky… Astaga! Ternyata temanku yang amat sangat fashionable
ini tidur dengan rambut di-rol dan wajah yang penuh dengan masker
pelembut kulit, lengkap dengan irisan mentimun di matanya . Ya Tuhan…
Dari semua teman sekamarku, yang tidurnya paling tenang adalah
Jeanne. Mungkin karena dia sedang sakit. Napasnya teratur, pose tidurnya
juga normal. Aku mengamati pacar Gareth yang sedang tidur ini. Bulu
matanya lentik, rambut pirangnya yang lurus terawat dengan sangat baik,
namun sayang wajahnya pucat karena sakit. Secara keseluruhan, dia memang
cantik. Tapi sayangnya, temanku yang cantik ini (katanya) sudah
merenggut kebahagiaan – yang berwujud Gareth – dari hidup Nyenye.
Aku masih tidak habis pikir, kok bisa sih Nyenye galau berat selama
berhari-hari – bahkan berminggu-minggu – hanya karena Gareth jadian
dengan Jeanne? Nyenye kan tidak suka pada Jeanne. Lalu kenapa Nyenye
galau? Harusnya kan dia ikut senang sahabatnya sudah menemukan cintanya.
Tiba-tiba kurasakan perutku keroncongan. Kulirik jam tangan yang
selalu melingkar di pergelangan tanganku. Pukul dua belas tepat.
Kira-kira di kantin masih tersisa makanan apa ya? Oke, hanya ada satu
cara untuk mencari tahu.
Aku turun dari tempat tidur dan memakai sandal dengan perlahan,
berharap teman-teman sekamarku tidak ikut terbangun. Aku menyalakan
senter kecil yang selalu kubawa kemana-mana – kami dilarang menyalakan
lampu apabila jam tidur telah lewat, kecuali untuk keadaan darurat. Aku
keluar dari kamar dan berjalan ke kantin musim panas IAB. Salah satu hal
yang kusukai dari sekolahku ini adalah peraturannya yang tidak seketat
sekolah-sekolah internat yang lain. Contohnya, kami boleh keluar dari
kamar saat malam hari (asal tidak untuk pergi ke luar sekolah ataupun ke
asrama lawan jenis). Dan disini, kebutuhan logistik kami selalu
dicukupi dengan baik – bahkan kadang berlebihan. Pendek kata, IAB selalu
berusaha membuat murid-muridnya merasa bahagia, nyaman, dan aman
sehingga mereka dapat belajar dengan baik.
Sekedar informasi, IAB memiliki dua kantin : kantin musim panas dan
kantin biasa. Sebenarnya tidak ada perbedaan fungsi antara kedua tempat
ini, semuanya sama-sama digunakan untuk kantin merangkap ruang makan.
Yang membedakan hanyalah waktu penggunaannya dan bentuk bangunannya.
Kantin yang biasa didesain seperti kafe. Kantin yang hangat dan nyaman
ini digunakan saat semester musim semi dan musim dingin. (Satu semester
di IAB hanya empat bulan – kalau kata Encun di Indonesia namanya
caturwulan).
Sesuai dengan namanya, kantin musim panas hanya dipakai saat semester
musim panas. Aku sangat menyukai kantin ini, karena merupakan sebuah
tempat semi-tertutup – tidak ada tembok yang dibangun mengelilinginya,
hanya ada kanopi bening yang menaungi tempat ini. Pot-pot yang berisi
tanaman rambat digantungkan di kanopi, sehingga banyak sulur berbunga
keluar dari pot, menjulur ke bawah. Indah sekali.
Kantin sepi, namun tetap terang benderang. Tidak ada petugas di
stan-stan kantin, tapi makanan kecil dan minuman tetap tersedia di meja
prasmanan. Ah, syukurlah. Aku mengambil secangkir teh panas dan sepiring
biskuit mentega, lalu duduk di tempatku yang biasa di meja kelasku,
meja 8-3.
“Lotta?”
Aku mengalihkan pandangan dari biskuit di depanku ke arah sumber
suara. Hari sudah larut malam, bahkan jam tidur untuk para guru dan
karyawan sudah lama lewat. Siapa yang masih bangun?
Ternyata Gareth. Aku melambaikan tangan untuk membalas panggilannya.
Ia membawa teh dan roti kismis yang baru saja diambilnya ke meja 8-3,
lalu duduk di kursi yang biasa dipakainya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Gareth bertanya padaku sambil
mengaduk tehnya. “Mencari sedikit kudapan. Aku lapar, tak bisa tidur,”
jawabku dengan jujur. “Kau sendiri?”
Gareth menghela napas panjang sebelum menjawab. Ekspresinya sulit
dijelaskan, karena merupakan campuran dari sedih, bingung, dan
mengantuk. “Mencari tempat yang enak untuk berpikir dan – kalau ada –
teman yang masih bangun untuk berdiskusi.” Gareth meminum tehnya
sedikit, lalu melanjutkan, “Aku punya masalah. Tentang Nyenye.”
Gareth? Masalah? Nyenye? Baru kali ini aku mendengarnya. Setahuku, hanya Nyenye yang merasa
punya masalah dengan Gareth. Didorong oleh rasa penasaran dan keinginan
untuk membantu, aku bertanya, “Masalah apa? Nyenye menyembunyikan
sebelah sepatumu? Menghabiskan jatah makan siangmu? Menghipnotismu untuk
menjadi pelayannya selama sehari penuh? Atau apakah dia mengambil dan
menunjuk-nunjukkan kartu IAB-mu ke semua orang?” Yang terakhir ini
kutanyakan karena aku tahu bagaimana tampang Gareth dalam foto yang ada
di kartu tersebut. Betapa absurd wajahnya di foto itu. Tidak, aku tidak mau bilang bagaimana pendapatku dan teman-teman tentang wajahnya. Kasihan Gareth.
Kening Gareth berkerut. “Bukan masalah yang seperti itu. Ini ada
hubungannya dengan Jeanne juga.” Dilihat dari raut mukanya, aku tahu
Gareth sedang serius dan (sepertinya) baru tidak bisa diajak bercanda.
Aku memasukkan biskuit ke dalam mulutku agar tidak berkomentar,
sementara dia melanjutkan ceritanya.
“Kau tahu kan, sebelum ada Jeanne, Nyenye sangat akrab denganku.
Bahkan hampir seperti saudara kembarku sendiri. Aku menemukan
kebahagiaan dalam dirinya. Kehangatan yang luar biasa seolah-olah
memancar dari dalam dirinya. Setiap bersamanya, rasanya seperti
dianugerahi kemampuan-untuk-menaklukkan-dunia-dengan-tangan-kosong oleh
para dewa. Dengannya, aku tidak butuh apapun lagi. Sungguh, waktu itu
aku seperti menemukan belahan jiwaku yang telah lama hilang.”
Mendengarkan Gareth bercerita sama saja dengan mendengarkan
keluhan-keluhan Nyenye. Seperti mendengarkan puisi super-alay yang
mengandung unsur gay! Aku kembali memasukkan biskuit ke dalam mulutku, berharap pendapatku ini tidak terucap tanpa sengaja.
“Lalu semuanya berubah saat malaikat.. Bukan, bukan malaikat. Lebih
tepatnya bidadari itu – Jeanne – datang di awal semester musim semi yang
lalu. Aku masih ingat, ketika itu tanggal 8 September dan bunga-bunga
sedang bermekaran dengan begitu indahnya. Dia …”
Walaupun sudah berusaha keras menahan diri, aku tetap tidak tahan
mendengar puisi Gareth yang hampir serupa dengan kata-kata Nyenye. Aku
tidak mau mati bosan mendengar ceritanya, maka terpaksa kupotong.
“Tolong, Gareth, to the point!”
“Sorry, sorry. Aku terlalu terbawa perasaan.”
Gareth tampak berpikir keras. Mungkin dia sedang menyusun kalimat yang
singkat-padat-jelas untuk menjelaskan masalahnya.
“Jadi begini. Dulu Nyenye sangat dekat denganku –
amat-sangat-dekat-sekali malahan – sampai Jeanne datang ke IAB. Aku
menyukai Jeanne, lalu jadian dengannya. Nah, sejak saat itu Nyenye
seperti tidak terima.”
Aku mendengarkan Gareth sambil memandangi cangkir teh di depanku.
Oke, teh ini mengingatkanku akan sebuah iklan dari negara asal Encun
yang pernah ditunjukkannya pada kami. Iklan teh yang menggambarkan bahwa
pembicaraan – baik yang santai maupun yang serius – akan menjadi lebih
enak kalau dilakukan sambil minum teh. Dan iklan tersebut mengingatkanku
akan rencana teman-teman untuk memberitahu Gareth apa yang sebenarnya
terjadi dengan Nyenye. Kuputuskan sekaranglah saat yang tepat, mumpung
kami sedang bicara empat mata dan minum teh di sini.
“Gareth, sebaiknya kau tahu apa yang sebenarnya terjadi,” aku mulai
berbicara. “Sebenarnya, Nyenye tidak terima karena dia tidak merestui
hubunganmu dengan Jeanne. Hal itu disebabkan karena dia merasa
kauabaikan. Dia merasa kau tidak pernah mempedulikannya lagi sejak ada
Jeanne. Nyenye merasa sedih, dan karenanya selama ini dia membanjiri
kami – anak-anak perempuan kelas 8-3 kecuali Jeanne – dengan
keluhan-keluhannya yang mirip puisi itu tanpa sepengetahuanmu. Dia
merasa terabaikan dan tidak disayangi lagi karena kau tidak pernah
memperhatikannya.”
Gareth terdiam. Duh, semoga saja dia tidak marah karena apa yang baru saja kukatakan. Aku menunggu responnya dengan was-was.
Setelah terdiam selama hampir dua menit, Gareth membuka mulutnya.
“Padahal aku sama sekali tidak bermaksud begitu padanya. Aku hanya
memiliki orang lain yang kusayangi dan harus diperhatikan, sehingga aku
harus membagi perhatianku yang awalnya 100% untuk Nyenye menjadi dua –
untuknya dan untuk Jeanne. Tapi sepertinya dia tidak mau mengerti. Dia
seperti tidak mau tahu kalau aku juga menyayangi Jeanne dan tetap
menuntutku untuk memberinya perhatian penuh selama 24 jam nonstop.
Menurutku, Nyenye terlalu picik dalam hal ini.”
Cerita yang baru saja dipaparkan Gareth sangat berbeda dengan kisah
Nyenye. Nyenye berpikir bahwa Gareth selalu mengabaikannya karena ada
Jeanne, sedangkan kalau menurut Gareth Nyenye-lah yang terlalu manja,
karena tidak mau mengerti bahwa Gareth harus membagi perhatiannya untuk
Jeanne. Nyenye-lah yang menuntut terlalu banyak dari Gareth. Untuk kasus
ini, aku setuju dengan Gareth yang mengatakan bahwa Nyenye terlalu
sempit pikirannya – tidak mau mencoba memahami sudut pandang Gareth.
“Kalau mendengar ceritamu tadi, sebenarnya masalah ini sederhana kok.
Nyenye cuma seperti anak kecil yang baru punya adik bayi, yang merasa
seluruh perhatian orang tuanya dicurahkan untuk adiknya itu dan dia
diabaikan – padahal sebenarnya tidak,” aku mencoba beropini.
Gareth mengangguk. “Aku juga berpikir begitu. Masalahnya sederhana,
memang. Tapi aku sama sekali tidak bisa memikirkan penyelesaian yang
tepat. Nyenye itu keras kepala. Dia akan berkeras mempertahankan
pendapatnya – yang dia anggap selalu benar – sehingga kalau diajak
bicara baik-baik tentang masalah ini tidak akan ada pengaruhnya pada
Nyenye.”
Benar juga. Lalu bagaimana kami memecahkan masalah ini? Aku berpikir
sambil meminum tehku pelan-pelan, karena biskuitku sudah habis. Gareth
juga mulai memakan roti kismisnya karena (mungkin) sedang berpikir juga –
atau kehabisan topik pembicaraan. Keheningan terjadi selama
bermenit-menit.
Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Menurutku ide ini sangat
brilian dan layak dicoba. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak
tersenyum. “Aku dapat ide!” teriakku pada Gareth. Dia tampak terkejut
mendengar teriakanku, lalu menoleh kesana kemari untuk memastikan tidak
ada orang yang datang. “Jangan keras-keras, Lotta,” bisik Gareth kesal.
“Kau mau seluruh sekolah terbangun dan datang kemari? Katakan saja
pelan-pelan, dan jangan berteriak-teriak lagi.”
Aku mengecilkan suaraku, lalu mulai menceritakan ideku. Gareth
nyengir. “Boleh juga. Kapan kita bisa mencobanya?” “Sesegera mungkin,”
jawabku dengan penuh semangat. “Tapi kita harus memberitahu Becky,
Maureen, Claire, Lindsay, dan Encun dulu. Kita butuh bantuan mereka
juga. Jeanne dan Loiz perlu kita libatkan tidak?”
“Jangan. Jeanne masih sakit, sedangkan Loiz tidak bisa bohong dan
berpura-pura. Nanti malah rencana kita ini diberitahukannya pada
Nyenye,” kata Gareth. Dia menguap. “Hoaaaam. Berpikir memang melelahkan.
Kurasa aku akan kembali ke kamar dan tidur. Terima kasih, Lotta! Besok
kita bahas proyek ini dengan yang lain.”
Aku dan Gareth membereskan piring-piring dan cangkir-cangkir yang
baru saja kami pakai, lalu kembali ke kamar masing-masing. Selagi
berjalan menuju kamar nomor 24, aku terus-menerus tersenyum memikirkan
proyek yang kurencanakan bersama Gareth barusan.
Kalau Nyenye tidak bisa memahami Gareth yang sudah punya pacar, maka dia harus merasakan sendiri bagaimana rasanya punya pacar!
-To be continued-
No comments:
Post a Comment