*Lindsay Ong’s point of view*
Tok.. Tok.. Tok..
“Sebentar…” ucap seseorang dibalik pintu.
Gareth muncul dan melihat aku bersama Jeanne di depannya. “Eh, kalian, ngapain?”
“Bukumu ketinggalan,” jawab Jeanne
menyodorkan buku catatan matematika milik Gareth yang sudah kucel dan
kotor terkena tinta bolpoin.
“Makasih sayang,” jawab Gareth tersanjung. Melihat tingkah laku alay Gareth, aku hanya bisa nyengir saja dan tak comment apa-apa.
“Eh, aku lupa kalau ada kamu, Lindsay. Hehe..” Gareth menggaruk-garuk kepalanya. “Ada perlu apa Lindsay?”
“Tidak, aku hanya menemani Jeanne saja,” kataku sambil melihat-lihat isi kamar asrama Gareth.
“Hayooo, kamu mau ngintip ya…”
“Ngaco kamu. Lindsay tidak mungkin berpikiran seperti itu.” Jeanne membantah.
Wah, tahu saja si Jeanne, kalau aku
tidak mungkin berpikiran aneh-aneh seperti itu. Jeanne memang baik
sekali, aku kagum dengannya.
“Hehe…” Gareth tersenyum. “Iyalah, pikiran Lindsay isinya pelajaran semua.”
“Lebih tepatnya, berisi
penelitian-penelitian aneh yang gak penting,” ujar seseorang yang
suaranya sudah sangat kukenal. Dia adalah Claire Millan.
“Ah, kau lagi, kau lagi. Kenapa sih, kamu selalu ngejek penelitianku?” ujarku tidak terima.
“Sudah, sudah, Claire cuma bercanda kok.” Lagi-lagi Jeanne berkata bijak. Sungguh sosok yang mengagumkan dia.
“Ngomong-ngomong, kamu ngapain Claire?” tanya Jeanne mengganti topik.
“Tidak. Aku tadi sedang berjalan
saja, lalu mendengar kata ‘mengintip’ dari kamar Gareth. Dan aku melihat
kalian ngobrol, jadi aku mampir deh.”
“Ah, pikiranmu, Claire,” kataku gantian mengejek.
“Eh, eh, teman-teman.” Gareth
memutar kepalanya ke segala arah, memastikan tidak ada orang selain kami
berempat, lalu menutup pintu kamar asramanya.
Gareth memulai, “Ada satu yang membuatku bingung tentang Pierre dan NyeNye.”
Kami cewek-cewek saling menatap. “Ada apa?” ucap kami bersama-sama.
“Mereka terlihat aneh.”
“Aneh gimana?” Jeanne bertanya.
“Mereka sama sekali tidak berbicara,” kata Gareth dengan singkat, padat, jelas.
Lagi-lagi kami para cewek saling
menatap pasti. Kami sepakat untuk tidak memberi tahu masalah permusuhan
NyeNye dan Pierre ke Gareth karena takut dia akan keceplosan bilang ke
NyeNye ataupun Loiz.
“Ya mungkin mereka belum kenal,” jawabku mengada-ngada.
“Aku sudah mengenalkan mereka kok.
Malah, NyeNye terlihat sangat tidak senang saat Pierre menjabat
tangannya.” Gareth menjelaskan.
“Perasaanmu saja kali.” Jeanne menanggapi.
“Tidak kok, Loiz juga merasakan hal yang sama, sayang,” kata Gareth lembut.
“Lagipula, Pierre juga sudah mulai
berbicara ke aku dan Loiz, tapi tidak ke NyeNye. Mereka benar-benar
seperti─” Gareth terlihat ragu. “seperti tidak mau berteman. Sungguh
aneh.”
“Ah, sudahlah. Aku mau tidur.” Claire menyela lalu mengajakku pergi. Aku pun juga menggandeng Jeanne untuk ikut pergi.
***
“Tidak, aku tetap tidak percaya
dengan Pierre.” Lotta memberontak setelah kami bertiga selesai
memberitahu cerita Gareth ke teman-teman di kamar asrama 24.
“Pierre kan hanya bertanya ke Loiz
dan Gareth, tidak ke NyeNye. Berarti bukan salah NyeNye kalau mereka
tidak berbicara sama sekali. Itu salah Pierre yang tidak mau mencoba
mengobrol dengannya,” lanjut Lotta. Kami tak menanggapi sepatah kata
pun, karena kami juga tidak tahu siapa yang harus kami percaya dan siapa
yang sebenarnya harus kami bela.
“Sudahlah, aku mau tidur,” kata
Lotta dingin lalu beranjak dari tempat tidur Jeanne, tempat di mana kami
berkumpul. Tak lama kemudian, kami menutup pembicaraan lalu tidur juga.
***
“Encun, kamu merasa gak, kalau Lotta
semakin menjauh dari kita?” tanyaku di akhir pelajaran Mr. Root. Encun
sekarang menjadi teman sebangkuku. Sudah seminggu ia duduk bersamaku,
setelah Mrs. Sam mengatur tempat duduk murid 9-3 di hari kedua semester
yang baru. Encun selain polos, juga enak diajak bicara. Aku senang duduk
bersamanya.
“Iya sih. Tapi kenapa ya?” Ucapannya terpotong oleh sapaan Claire dan kawan-kawan yang datang menghampiri tempat dudukku.
“Hai, kalian tahu tidak?” Claire
melirik ke kanan kiri. Ia tersenyum senang lalu melanjutkan, “Pierre
sudah diterima jadi anggota baru timku loh.”
“Oh.. Kau sudah beritahu Pierre?” tanyaku sambil membereskan buku-buku pelajaranku.
“Nanti siang saja, sekalian nyerahin seragamnya,” jawab Claire.
“Ohh,” jawabku singkat. “Kawan,
kalian ngerasa gak, kalau Lotta sedikit menjauh dari kita?” tanyaku
selesai memasukkan buku ke dalam tas, lalu duduk bertopang dagu, melihat
Lotta yang berjalan bersama NyeNye.
“Iya nih, apalagi setelah dia duduk sebangku sama NyeNye.” Maureen menanggapi, melihat NyeNye dan Lotta juga.
“Iya, aku juga merasakan hal yang sama,” kata Encun ikut menanggapi.
“Oya, ngomong-ngomong tentang
NyeNye, menurutku dia sekarang main sepak bolanya kurang bagus,” kata
Claire yang duduk di sebelahku.
Mendengar itu, Becky yang memang suka bercanda menanggapinya, “Mungkin dia stress karena kau tinggal, Claire.”.
“Ah, kau ini.” Claire menatap wajah kita satu per satu. “Jeanne mana sih? Biasanya dia yang bela aku kalau lagi terpojok gini.”
“Biasalah, dia pasti sama Gareth.”
Maureen memutar kepalanya sedikit ke kanan, melihat Jeanne dan Gareth
yang sedang duduk berdua di depan meja guru.
“Apa sih, enaknya pacaran kayak Jeanne dan Gareth?” tanya Encun polos.
“Rasakan saja sendiri,” saran Becky yang disambut tawa kami semua.
“Eh, eh, sebentar, kawan. NyeNye
manggil aku.” Claire menatap celah-celah jendela kelas, lalu berlari
keluar. Kami terdiam, menunggu, melihat Claire yang berbicara dengan
NyeNye. Mereka terlihat berdebat, dan raut wajah NyeNye kecewa. Lalu
Claire meninggalkannya, dan masuk ke ruang kelas 9-3 dengan wajah kesal.
“NyeNye memang aneh.” Dia memulainya dengan langkah kaki penuh rasa marah.
“Dia tidak senang aku memasukkan Pierre sebagai anggota baru club sepak
bola kita. Katanya Pierre tidak berbakat. Padahal dia tahu kan, kalau
Pierre pernah masuk club sepak bola di SDnya, malah mengalahkannya. Aku
sudah menceritakan semuanya, dan dia─” Claire berhenti. Dia terkejut,
dan kami pun juga kaget. “Aku menceritakannya ke NyeNye,” sambungnya
datar.
Ruang kelas sepi. Tak ada di antara
kami yang berani mengeluarkan pendapat. Semua melongo, terkejut akan
kejadian yang baru saja terjadi.
“Bagaimana ini?” ucap Claire menyesal.
“Entah.” Aku menjawab.
“Aku telah menghancurkan pertemanan mereka.” Claire menyandarkan tubuhnya ke belakang.
“Kok bisa?” tanya Encun tanpa rasa bersalah.
“Aduh Encunn… Kau ini..” balas Becky geram.
“Kenapa?” Encun bertanya, semakin polos.
“Apakah kau tidak berpikir panjang?
Kalau NyeNye tahu bahwa Pierre menceritakan semua masalah mereka ke
kita, NyeNye pasti semakin marah. Dan itu bisa membuat parah permusuhan
mereka,” jelasku.
“Tanpa NyeNye tahu kalau Pierre
menceritakan masa lalunya saja, dia sudah tidak senang dengan Pierre.
Apalagi kalau dia sudah tahu. Parahnya lagi, setelah semua kejadian ini,
aku yakin kita semua akan sebal dengan NyeNye. Dan itu akan membuat
NyeNye semakin benci dengan Pierre,” lanjutku panjang lebar.
“Kecuali Lotta.” Encun menambahi.
“Btw, kita juga masih gak tau kan, kebenaran di balik semua ini?” tanya Maureen ragu.
“Lindsay, Maureen benar, kita gak tau –siapa yang harus kita percaya-,” ujar Becky setuju.
“Betul juga. Kita serba salah kalau begini.” Encun menanggapi.
“Entah kenapa, aku yakin NyeNye yang salah,” kata Claire penuh kepastian.
“Entahlah, aku juga berpikir begitu,
Claire,” ucapku yang terakhir kali. Setelah itu, kami semua pergi
meninggalkan kelas dengan putus asa. Aku dan Claire pergi ke kamar
asrama putra untuk menyerahkan seragam tim sepak bola sekolah kepada
Pierre.
***
“Benarkah? Aku diterima jadi anggota
timmu?” tanya Pierre tidak percaya. Aku dan Claire mengangguk senang.
“Sudah lama aku ingin masuk ke dalam sebuah clubsepakbola lagi. Sejak NyeNye marah kepadaku, aku memutuskan untuk keluar dariclub. Kupikir, itu dapat membuatnya lebih senang.”
“Sekarang Pierre, kau tidak perlu
menyembunyikan bakatmu, hanya untuk berteman dengan NyeNye yang aneh
itu. Kau harus membantuku memenangkan pertandingan, Pierre,” ucap Claire
penuh semangat.
“Ya sudah Pierre, kita pergi ke
kamar dulu ya. Kami mau istirahat sebentar,” Aku melambaikan tangan,
diikuti oleh Claire yang masih tersenyum senang.
“Claire, makasih banyak ya.”
***
“Lotta datang, Lotta datang,” kata Encun tegang, membuat suasana kamar asrama putri nomor 24 menjadi ikut tegang.
Ia duduk di atas kursi santai, di
depan tempat tidurku, tempat di mana kami berkumpul. Wajahnya lesu dan
terlihat sangat capai. Ia mendesah, dan mulai berbicara, “Teman-teman.”
Ia memandang wajah kami satu demi
satu. “Maafkan aku.” Kami masih diam terpaku. Melihat tingkah laku kami,
ia memperjelas lagi, “Kupikir kalian yang salah mempercayai orang. Tapi
ternyata, aku keliru. NyeNye memang pembohong.”
Selama beberapa detik, ruangan jadi
ramai, and Lotta melanjutkannya kembali, “Awalnya, NyeNye membantah
ceritaku tentang masa lalunya, seperti yang dikatakan Pierre…”
“Apa? Kau cerita padanya?” Claire memutus kata-kata Lotta. Untung saja, ada Jeanne yang bisa meredakan amarah Claire.
“Iya, aku cerita kepadanya. Dan dia menyangkalnya. Katanya, setelah Pierre masuk ke dalam clubnya, Pierre menjadi sombong dan selalu ingin mengalahkannya. Setelah itu, Pierre pindah ke club lain,
dan membuat NyeNye kalah. Pierre pura-pura merasa bersalah, dan dia
sengaja keluar dari clubnya, agar semua orang pikir Pierre adalah teman
yang baik, yang tidak mau menyaingi bakat NyeNye lagi.”
“NyeNye berkata seperti itu?” tanya Jeanne terkejut.
“Iya, Jeanne. Dan bodohnya, aku
percaya dengan omongannya. Oleh karena itu, selama seminggu aku menjauh
dari kalian. Aku pikir, kalian sudah tidak percaya lagi dengan aku dan
NyeNye,” lanjutnya penuh penyesalan.
“Baru tadi sepulang sekolah, NyeNye mengakui bahwa cerita Pierre lah yang benar. Lalu aku ke sini, untuk minta maaf ke kalian.”
“Jadi, memang NyeNye yang salah?” tanyaku terkejut juga.
“Aku tidak menyangka, NyeNye seperti itu.” Maureen menambahi.
“NyeNye sungguh keterlaluan,” kata Becky yang masih menampilkan wajah-tidak-percaya.
“Dia bukan teman yang baik. Aku tak mau dengannya lagi,” kata Claire penuh emosi.
“Jangan begitu Claire, kasihan dia kalau tidak ada yang mau jadi temannya,” tanggap si Encun yang masih polos.
“Benar kata Encun. Itu masalah
Pierre dan NyeNye. Kita tidak perlu ikut campur di dalamnya. Berteman
seperti biasa saja, tapi jangan terlalu percaya dengannya,” saran Jeanne
bijaksana. Tapi sayang, kami semua tidak bisa menerima saran Jeanne
sepenuhnya. Kami masih terbawa amarah di hari-hari berikutnya. Sama
sekali tak ada pembicaraan antara kami dengan NyeNye. Kami juga selalu
menghindar darinya. Hanya Loiz yang masih setia menemaninya. Walau
begitu, NyeNye lebih senang sendiri daripada bersama Loiz. Ia sering
mengurung diri dalam kamar, bermain bola asal-asalan, dan tidak ikut
dalam acara-acara. Apalagi setelah Mrs. Sam memarahinya dan berniat
menurunkan NyeNye dari jabatan kaptennya. Sebenarnya kami kasihan
dengannya, tapi kami masih menunggu penyesalan dari NyeNye. Yang dapat
kami lakukan hanya satu, yaitu berharap hubungan pertemanan NyeNye dan
Pierre dapat terjalin kembali, walau…
Walau tak tahu kapan itu terjadi.
No comments:
Post a Comment