*Lindsay Ong’s point of view*
Liburan musim panas telah berakhir, disambut oleh datangnya
semester baru di musim gugur. Tak ada yang berbeda, selain daftar nama
siswa kelas 9-3 yang tertempel di papan tulis. Ada nama yang terdengar
asing tertulis di dalamnya. Nama itu adalah…
Pierre de Angélo.
“Siapa dia?” tanyaku kepada Maureen.
“Entah, aku juga tak pernah mendengar nama itu,” jawabnya segera.
“Yang pasti, dia bukan angkatan kita.” Becky menyahut dengan pasti.
“Jangan-jangan dia anak tunggakan.”
“Sepertinya bukan, tahun kemarin, IAB lulus 100%.”
“Atau mungkin, dia akselerasi?”
“Gak mungkin, di sini gak ada yang namanya percepatan.”
“Lalu siapa? Anak baru kah?”
“Pastinya iya.”
Aku melihat jam tangan warna ungu yang terpasang di
tanganku, pukul 07.55. Menyadari bahwa aku belum mendapat tempat duduk,
langsung aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari kursi kosong untuk
kududuki. Untung saja, masih tersisa satu bangku di baris paling
belakang. Dengan santai, aku meletakkan tas ranselku lalu duduk
membayangkan apakah murid baru itu menyenangkan atau tidak. Saat itu
juga, terdengar suara gertak sepatu hak tinggi, masuk ke dalam kelas.
Semua murid yang tadinya masih menggerombol di depan, langsung berpencar
mencari tempat duduk mereka.
Ternyata itu Mrs. Sam, guru olahraga di IAB, yang akan
menjadi wali kelas 9-3. Dia membawa seorang anak laki-laki berkulit
coklat terang di belakangnya. Rambutnya berwarna hitam dan matanya
memancarkan warna biru terang. Tubuhnya standart (tidak begitu gemuk dan
tinggi) dan kelihatannya baik.
“Pagi anak-anak,” sambutnya.
“Sudah kalian lihat di daftar nama, bahwa ada murid baru di
IAB. Dia adalah Pierre de Angélo. Untuk lebih lanjutnya, biarlah dia
sendiri yang memperkenalkan diri.”
“Hi, namaku Pierre de Angélo. Panggil saja Pierre. Aku dari
Argentina. Senang bertemu dengan kalian.” Dia tersenyum manis, diikuti
senyuman dari teman-teman.
“Pierre.” Mrs. Sam menggerakkan bola matanya, menyusuri
setiap bangku murid, dan berakhir menatapku yang masih duduk sendirian.
“Sementara kau duduk di baris paling belakang, di dekat gadis mungil
itu.” Telunjuk panjang Mrs. Sam mengarah kepadaku.
***
“Cie.. cie.. ada yang seneng nih, duduk sama cowok
ganteng,” ejek Lotta, menyenggol bahu kananku, saat berjalan ke arah
kantin sekolah.
“Apa sih?” gerutuku, tidak terima. Bibirku mengerucut.
“Eh, eh, tadi kamu bilang apa? Cowok ganteng?” lanjutku, membalas ejekan Lotta tadi.
“Ehemm.. Ehemm.. Kayaknya Lotta deh, yang suka sama Pierre.” Becky menjulurkan lidahnya.
“Tidaakk.” Lotta terdiam. “Apakah kalian juga tidak berpendapat kalau Pierre paling keren dibanding cowok-cowok di kelas kita?”
“Enggak ah,” jawab Encun polos, tak tahu bahwa jawabannya memacu kita untuk menjodohkan Encun dengan Loiz lagi.
“Yah, kalo menurut Encun sih, pasti Loiz paling keren.” Pipi Encun merona, mendengar kata-kata Claire.
“Nah, Claire, berarti menurutmu Pierre juga keren kan?” tanya Lotta meminta dukungan.
“Tidak, tidak, aku gak bilang gitu.” Claire menggigit bibir bawahnya.
“Sudah, sudah, ayo kita ke kantin dulu. Keburu bel lho,” ucap Jeanne bijak, seperti biasanya.
***
“Hai.” Pierre menyapaku, berjalan ke arah tempat dudukku dengan canggung.
“Hai, juga,” balasku sambil tersenyum.
“Apakah kamu bisa mengenalkan aku dengan ruang-ruang di sekolah ini selesai pelajaran?”
“Aku?” tanyaku bingung. “Sebenarnya aku mau, tapi lebih
baik kamu juga ngajak Gareth, dia ketua OSIS, jadi pasti lebih tahu
tentang sekolah ini.”
“Gareth?”
Aku merespon mengangguk.
“Oya, aku lupa. Kau belum kenal Gareth ya? ─ Gareth itu
yang duduk di baris paling depan, paling kanan, di depan meja guru.
Kalau di sebelahnya itu Jeanne, dia pacarnya si ketua OSIS,” jelasku
panjang lebar sambil menunjuk dua orang yang sedang asyik pacaran.
***
“Lindsay, kita mulai dari mana?” tanya Pierre yang sudah
siap untuk berkeliling sekolah. Ia menaikkan kacamatanya agar bisa
melihat dengan jelas.
“Hmm, coba kamu tanya Gareth,” jawabku sambil membersihkan kacamataku yang kotor.
“Cie.. Cie… Ada yang mau nge-date?” tanya Claire tiba-tiba.
“Ihh, apaan sih, Claire? Aku cuma mau nunjukin Pierre
ruangan-ruangan di sekolah ini. Sama Gareth juga kok,” jawabku kesal,
melirik tajam ke Claire yang dari tadi tersenyum tidak jelas.
“Kok pake ngajak kamu?” Claire mengangkat salah satu alisnya.
“Ya─mungkin karena dia baru kenal sama aku doang,” jawabku ragu.
“Apa iya?”
Sungguh menyebalkan si Claire, pikirku kesal. “IYA CLAIREEE! Kamu ikut aja deh!”
“Aduh, Lindsay. Bisa tuli aku.”
“Salah sendiri.” Aku melempar wajahku, mengejek Claire yang sedang meniupi telinganya.
“Iya, ikut aja,” kata sosok dari belakangku tiba-tiba. Itu
Pierre.Claire yang sibuk dengan telinganya, langsung terdiam dan
batuk-batuk sendiri.
“Oya Lindsay, Gareth gak bisa sekarang. Katanya, dia ada rapat OSIS…”
“Duh, rapat OSIS ya?” Claire menyela kata-kata Pierre, batuknya tiba-tiba hilang.
“Claire juga anggota OSIS, Pierre. Jadi dia juga gak bisa,” ucapku putus asa.
“Nah, berarti kamu aja Lindsay,” ucap Claire, tertawa
licik. Sial, pikirku. Padahal tadi rencananya, aku ingin Claire dan
Pierre berjalan berdua, tapi malah aku yang kena.
“Ya, Claire, memang aku kok,” jawabku agar dia puas, “tapi sama Becky atau Maureen.”
“Sorry Lindsay, aku ada latihan pembinaan PBB hari ini.” Maureen tiba-tiba menyahut.
Melihat wajah Claire yang terlihat sangat puas, aku
langsung mengajak Becky. Untung saja, dia tidak ada ekstrakulikuler hari
ini, fiuhh..
***
“Pertama-tama, kamu harus kenal dengan teman-teman 9-3,” kataku memulai.
Pierre mengangguk penuh rasa ingin tahu.
“… Oya, aku lupa satu orang.” Aku menarik napas dalam-dalam, “NyeNye. Dia adalah…”
Kata-kataku terputus oleh hembusan-napas-putus-asa Pierre. “Kenapa?─Kau kenal dia?”
“Pastilah, aku kenal. Dia adalah teman SDku. Eh, bukan teman sih, tapi…”
“Apa? Bukan teman gimana sih, maksudmu?” Aku dan Becky saling menatap, bingung.
“Ya…” Pierre terlihat sangat ragu untuk menceritakan, tapi
Becky memaksanya. “Jadi begini, dulu waktu SD, NyeNye sangat pintar,
baik di bidang akademis maupun dalam sepakbola. Aku sering bermain
sepakbola dengannya, sampai suatu saat guru olahraga kami melihat aku
dan NyeNye bermain. Katanya, permainanku cukup bagus, jadi aku
dimasukkan dalam club bersama NyeNye yang sudah lama didalamnya. Sejak
saat itu, NyeNye rasanya menjauh dariku. Dia gak pernah main bareng
lagi, dan kalau aku ngajak, dia selalu menghindar. Parahnya lagi…”
Lagi-lagi Pierre ragu menceritakannya. Kali ini, aku yang mendesaknya untuk melanjutkan ceritanya, nanggung soalnya.
“Parahnya lagi, aku pernah dipindah dari club NyeNye,
dan clubku yang baru mengalahkan NyeNye. Lebih parah lagi, yang
membuatnya kalah adalah aku. Karena aku yang memasukkan goalterakhir,
setelah beberapa menit skor kami seri. Saat itu juga, NyeNye-lah yang
jadi kipernya, dan bolaku mengenai bahu kananya hingga sakit beberapa
hari,” lanjut Pierre yang terlihat sedih mengingat kejadian-kejadian
itu.
“Wah, parah banget itu. Tapi NyeNye gak marah kan?” tanyaku ragu juga.
“Hmm, sayangnya, dia marah.” Pierre menghembuskan
napas-putus-asanya lagi. “Katanya, aku mengkhianati pertemannya dan
membuat reputasinya menurun.”
“Apa?? Ya itu bukan salahmu lah. Dalam pertandingan,
walaupun kalian teman, tapi kalian harus saling membela club
masing-masing. Kalau kamu biarin NyeNye menang, padahal kesempatanmu
mencetak goal sudah di depan mata, berarti kamu mengkhianati clubmu
sendiri. Iyakan Becky?” Aku tidak begitu tahu tentang bola, tapi kalau
tentang hal simple seperti itu, aku tahu. Hanya saja, aku meminta
dukungan Becky yang lebih tahu tentang sepakbola.
“Iya. Aku tak menyangka NyeNye seperti itu. Harusnya, dia
tidak menghancurkan pertemannya hanya karena hal tak penting seperti
itu.” Becky ikut membela Pierre.
“Tapi…” Aku menggigit bibir bawahku, “kau tidak bohong kan Pierre?”
“Tidak, aku berkata yang sebenarnya. Untuk apa aku tidak
jujur?” katanya, raut wajahnya sedikit kecewa mendengar kata-kataku
tadi.
“Maafkan aku Pierre, aku hanya memastikan saja kok.”
“Ehm, by the way, kamu pintar main bola ya? Kalau gitu kamu
bisa coba masuk clubnya Claire dong. Dengar-dengar sih, lagi butuh
anggota lagi. Kalau mau, aku tanyakan ke Claire,” ucap Becky mengalihkan
kekecewaan Pierre.
“Wah, boleh juga itu,” jawab Pierre penuh semangat.
“Tapi Bec, NyeNye juga tergabung dalam club Claire. Malah
dia kaptennya. Apakah itu tidak membuat mereka makin bermusuhan?”
Lagi-lagi aku menggigit bibir bawahku, ragu dengan usul Becky tadi.
Semangat Pierre jadi menurun.
“Bisa saja kalau Pierre ikut membantu club mereka menang,
NyeNye akan bisa memaafkannya.” Becky mencoba menghibur Pierre yang
malang.
“Ya sudah, sekarang kita balik ke topik utama. Becky,
gantian kamu yang cerita ya. Bibirku udah kering nih, nyeritain
satu-satu murid 9-3,” ucapku sambil membasahi bibirku dengan air minum
yang kubawa dari tadi.
***
“Masa sih? Aku tak percaya kalau NyeNye seperti itu,”
tanggap Maureen, setelah aku dan Becky selesai bercerita di dalam kamar
asrama putri nomor 24.
“Keterlaluan si NyeNye. Harusnya dia bisa menerima
kekalahannya dengan lapang dada dong.” Claire ikut mengkritik perilaku
NyeNye.
“Iya, harusnya dia senang kalau temannya masuk dalam club.
Harusnya dia senang bakat temannya terasah,” kata Encun tanpa rasa
bersalah. Dia tidak tahu, bahwa ia sudah terlambat menanggapi sesuatu.
“Encunn, topik tentang terpilihnya Pierre jadi anggota club
baru, sudah dari tadi dibicarain. Kamu telat bilangnya.” Becky mengelus
dada.
“Iya sih. Aku tadi udah mau bilang itu, tapi Becky dan Lindsay gak beri aku kesempatan bicara,” ucap Encun, sedikut cemberut.
“Sudah, sudah, tak apa, Encun.” Jeanne membela Encun, dia
memang yang paling sabar dari murid-murid 9-3, termasuk sabar dalam
menghadapi tingkah laku Gareth, pacarnya, yang kadang terkesan sangat
alay dan garing.
“Ah, aku gak percaya sama ucapan Pierre. Jangan-jangan dia
bohong.” Lotta memberontak tidak terima kalau NyeNye dikatakan seperti
itu. Memang sih, belakangan ini posisi Claire yang biasanya jadi tempat
curhat NyeNye paling banyak, digantinkan oleh Lotta, karena Claire tidak
mau dekat-dekat dengan NyeNye setelah kejadian NyeNye menceritakan
perasaannya.
“Ya terserah kamu sih, Lot, tapi Lindsay tadi udah memastikan kalau Pierre jujur,” ujar Becky.
“Mana ada maling yang mau ngaku,” balas Lotta dengan muka acuh, lalu meninggalkan kami.
“Wah, penelitian baru nih.” Aku tersenyum lebar, tak menghiraukan kepergian Lotta.
“Aduh Lindsay, memang penelitianmu tentang NyeNye udah kelar?”
“Belum sih, tapi itu masih bisa ditunda kok,” jawabku senang.
“Ah, kayanya semua penelitianmu gak ada yang kelar deh,” kata Claire dingin.
Aku membela tidak terima, “Enak saja. Penelitianku yang kelas 7 udah kelar semua tau. Ada…”
“Eh, jadinya Pierre bisa masuk ke clubmu gak, Claire?”
Jeanne memutus ucapanku, mungkin dia pikir, kalau aku menyebutkan semua
hasil penelitianku, semua orang akan bosan lalu pergi, dan itu akan
lebih membuatku sedih. Jadi, dia ganti topik lain. Sungguh bijak
dirinya.
“Kalau dilihat dari pengalamannya waktu SD, Pierre cocok
untuk masuk ke tim. Tapi, semua harus melewati test dulu. Semoga saja
dia lulus,” jawab Claire, tersenyum.
“Dan semoga saja, pertemanan mereka bisa terjalin kembali,”
ucapku memohon untuk yang terakhir kalinya, sebelum kami semua pergi ke
ruang belajar, mengerjakan PR dari Mr. Root.
***
No comments:
Post a Comment