Hello, everyone. This time I'm telling you that this chapter is the last chapter before epilog. So just wait until... do know when. Promise we'll write as soon as possible. Enjoy!
*Lindsay Ong’s point of View*
Kami memeluknya dengan
erat. Air mata Encun pun menetes sedikit. Ia tak tahan menyaksikan temannya
menangis sendirian. Pelukan kami membuat Teresa semakin mengucurkan air mata.
Ia tersedu-sedu.
“Ini adalah malam
terindah bagiku,” ucapnya di sela tangisannya.
Encun berhenti
menangis.
“Maksud kamu?” tanya
Becky bingung. Kami pun juga bingung dengan perkataan Teresa baru saja. Namun
Teresa hanya diam. Dia sibuk menghapus air matanya dan mencoba menenangkan
dirinya sendiri.
Maureen membisiki
Becky. “Mungkin maksudnya ini malam terindah karena dia bisa dinner dengan NyeNye.”
“Walau ditolak
cintanya,” Lotta melanjutkan bisikan Maureen tadi.
“Benar-benar indah,
teman—Sampai-sampai air mata bahagia ini tak bisa kubendung lagi.” Ia pun
mengusap air matanya yang terakhir.
“Astaga, kukira kau
menangis sedih, Teresa!” teriak Encun tiba-tiba. Ia melepaskan pelukannya yang
paling erat di antara pelukan kami semua. Satu per satu dari kami pun mengikuti
Encun.
“Pintar sekali kamu
berbohong.” Jeanne menanggapi dengan lembutnya.
“Maksud kalian apa?”
tanya Teresa yang akhirnya berekspresi.
“Dari tadi raut
wajahmu datar dan kamu diam saja, seperti sedang sedih,” ujar Lotta segera.
Aku menambahi,
“Apalagi tangisanmu yang tersedu-sedu itu.”
“Aktingmu seperti
aktris saja! Sudah, jadilah aktris, nanti aku yang jadi designer pribadimu.”
Becky tersenyum lebar.
“Maafkan aku, teman.
Otot-ototku terasa kaku semua. Aku tidak bisa berekspresi sedikit pun.”
“Huh, kau ini membuat
jantungku hampir berhenti,” ucap Maureen mengikuti gaya NyeNye yang puitis itu.
“Sudahlah,” katanya lagi. Lalu ia memasukkan tangannya ke dalam kantong bajunya
dan mengeluarkan kameranya. “Selfie
dulu!”
Kami pun berfoto-foto
sepanjang perjalanan, mengungkapkan kelegaan di hati kami semua. Rencana
dadakan ini berhasil! Walaupun sebenarnya ada satu yang mengganjal di hatiku.
Tidak ada yang berani bertanya apakah Teresa menembak NyeNye atau belum. Yang
kami tahu, NyeNye dan Teresa selalu bersama keesokan harinya. Kadang terlihat
berdua saja, seperti Gareth dan Jeanne, tapi kadang bergabung dengan kami
semua. Apapun status mereka sekarang, yang terpenting adalah kebahagiaan di
antara mereka berdua. NyeNye sama sekali tidak terlihat galau akibat ditinggal
Claire. Dan Teresa juga tidak galau karena cowok yang ia kagumi dari dulu sudah
berada di sisinya sekarang. Sayang, mereka hanya diberi waktu satu hari untuk
menikmati kebersamaan itu. Kadang kami, para cewek kelas 9-3, menyesal semua
itu berlangsung dua hari sebelum perpisahan. Tapi Claire selalu berkata, “Jodoh
akan bertemu. Mereka akan dipersatukan kembali dengan waktu yang jauh lebih
lama apabila mereka berjodoh.” Itulah salah satu kalimat yang diucapkannya saat
kami memberitahu semua rencana gila itu.
***
Hari perpisahan telah
datang. Kami, siswa International Boarding School kelas 9, telah berkumpul di
aula sekolah untuk menerima ucapan perpisahan yang terakhir dari para guru.
Beberapa orang tua sudah menunggu di luar ruang aula. Oleh sebab itu, acara
terakhir di IAB ini hanya berlangsung sebentar. Pihak sekolah tidak membiarkan
para orang tua menunggu terlalu lama. Mereka memulangkan siswanya 15 menit
kemudian.
Maureen dan Lotta
sudah dijemput. Begitu juga Jeanne dan Gareth yang dijemput bersamaan, karena
rumah mereka bersebelahan sekarang. Kabar baru itu membuat Jeanne dan Gareth
semakin senang. Tentu saja. Mereka bisa bertemu kapan pun. Tinggal mengetuk
pintu saja, sudah bertemu. Tidak perlu kirim sms atau pun bertelepon. Memang
jodoh mereka itu.
Sekarang tinggal Encun
dan Becky, dua teman sekelasku perempuan, yang menemaniku di bawah pohon mangga
dekat gerbang sekolah. Encun menyandarkan kepalanya ke bahuku dari tadi. Ia
menangis tersedu-sedu dari tadi.
“Sudahlah, nanti kan
kita masih bisa berkumpul lagi,” ucapku menenangkan Encun.
“Tapi kan saat itu
kita sudah besar. Pasti pada sibuk dengan kerjaan.” Encun semakin keras
menangis.
“Itu! Kau dijemput,
Cun!” Becky menunjukkan telunjuknya ke arah pintu gerbang.
“Simbah!” teriak Encun
tiba-tiba. Ia berlari cepat bersama dua tas di tangannya lalu memeluk simbahnya
dengan erat. Dan dengan mudahnya ia melupakan tangisnya tadi. Ia melambaikan
tangannya ke arah kami.
Tak lama dari itu, aku
dijemput dengan mobil ayah yang tidak kukenal. Tentu saja, sudah lama aku tidak
pulang ke negara asalku, pasti mobil butut yang dulu sudah dihancurkan. Aku
mengangkat tasku dan menarik koperku. Kubalikkan badanku untuk melihat wajah
teman-teman sekelasku yang tersisa, Becky, Loiz, NyeNye, dan Pierre. Dan kuucapkan
kata terakhir untuk mereka, “Selamat berjumpa kembali!” diikuti senyuman dari
bibirku. Aku pun melangkah pergi.
No comments:
Post a Comment