*Lindsay Ong’s point
of View*
Kami, maksudku Jeanne,
Lotta, dan aku, sedang duduk di pinggir Danau Flakes, danau yang sama saat kita
sedang ber-selfie-ria empat hari yang
lalu. Kami mengistirahatkan diri sejenak setelah seharian menyusun rencana yang
diharapkan akan terlaksana malam ini juga. Rumput sekitar danau adalah tempat
yang cocok sebagai sandaran punggung kami, sekaligus tempat indah untuk
menjalankan rencana hebat itu.
“Menurutmu ini akan
berjalan dengan lancar?” tanyaku sambil menikmati indahnya langit senja hari
yang terpantul di air depan kami.
“Kuharap, Lindsay,”
Jeanne memaksakan senyum dibibirnya, lalu kembali memandang langit.
Tiba-tiba NyeNye
datang dengan T-shirt warna
abu-abunya dan celana sepanjang lututnya. “Hai semua!” sapanya mengagetkan kami
yang baru saja diam dari pembicaraan tentang rencana itu.
“Untuk apa kalian
memanggilku ke sini?” tanyanya. Lalu ia ikut duduk di sebelah Lotta dan
menyandarkan tubuh di rumput hijau pinggir Danau Flakes.
“Memanggil?” Jeanne
terbangun dan langsung memandang aku dan Lotta. Aku pun mengangguk dan
tersenyum. “Oh, iya, aku lupa.”
“Adakah itu dalam
rencana?” Jeanne membisikiku.
“Tentu, rencanaku.” Ia
terbelalak kaget. Bibirnya bergerak tanpa suara dan aku bisa membaca gerakan
itu. “Tadi, waktu aku ke kamar sebelum ke sini. Ingat kan?—Saat itu juga, aku
terpikirkan untuk mengajak NyeNye ke sini. Kutulis memo dan kutempelkan itu di
depan kamarnya.”
“Apa yang kau
rencanakan?” Jeanne membalas bisikanku.
“Nye, sudah berapa
hari sih, Claire pergi ke Inggris?” tanyaku tiba-tiba. Lotta dan NyeNye
memandangku langsung.
“Sudah lama pokoknya.
Aku tidak menghitung berapa hari, takut teringat lagi,” katanya menjawab. Kali
ini ia tidak menunjukkan kemampuan berpuisinya.
“Kau masih menyukai
Claire?”
“Tentu saja. Sampai
kapan pun, Claire akan selalu di hatiku yang terdalam.” Ia berdiri di depan
kami untuk menunjukkan cintanya yang begitu dalam pada Claire.
“Sampai kapan pun?”
Kami bertanya serentak lalu saling berpandangan.
“Memang kenapa?”
tanyanya melihat ekspresi kami yang sudah putus asa. Ia pun duduk kembali tepat
di batu-batu pinggir danau.
“Hati-hati nanti
jatuh.” Jeanne memperingatkan, sekaligus memberiku dan Lotta waktu sebentar
untuk merangkai jawaban.
“Tidak-tidak, aku
sudah ahli—Kalian belum menjawabku!” Ini waktu yang tepat untuk memancing
NyeNye, pikirku.
“Ehm, tidak apa, Nye.
Kami hanya tidak mau kamu stress karena kepergian Claire.” Aku menoleh ke
Jeanne, dan ia mengangguk.
“Sudah kubilang kan,
aku memang sedih, tapi tidak sampai seperti itu. Claire sudah menyuruhku
tenang, walau hatiku tak bisa tenang,” ucapnya sedih, terlihat dari raut
wajahnya.
Aku menggigit bibir
bawahku dan memberi solusi dengan sangat sangat ragu, “Bagaimana jika kami
mencarikan kamu pacar? Jadi kamu bisa sedikit melupakan Claire.”
“Aku tahu bahwa banyak
gadis mencintaiku, tapi sepertinya susah untuk memilih salah satu dari sekian
ribu wanita.”
“Astaga naga, hanya
satu kok ceweknya!” Lotta menggeram. Aku dan Jeanne menatap Lotta. NyeNye
terlihat sangat bingung, ia tak menyangka kami semua serius mencarikan pacar
untuknya.
“Tenang Nye—,” ucapku
menenangkan cowok super pede itu.
“—intinya, kamu mau tidak, bila ada cewek yang mendekatimu?” Kami semua
memerhatikan wajah NyeNye yang sedang berpikir itu, sambil mengharapkan jawaban
“ya” darinya.
“Boleh dicoba,”
jawabnya santai. “Siapa sih, jadi penasaran.”
“YESS!!”
“Pokoknya tunggu kami
di sini nanti malam!” ucap Lotta kesenangan.
Kami semua berdiri.
“Jangan lupa!” Jeanne memeringatkan lagi.
NyeNye pun meregangkan
tubuhnya, siap untuk berdiri. “E—e—eh!” BYURR… NyeNye terjatuh ke dalam danau
seketika. “Nye!” teriak kami yang juga terkena air cipratan.
***
Kami sudah selesai
mendandani Teresa di kamar kami. Ia terlihat sangat cantik dengan rambut
berombaknya yang dipita oleh Lotta. Becky sudah memodifikasi gaun Teresa yang hampir
tak pernah dipakai. Gaun putih dengan model kuno itu sudah berubah menjadi mini-dress cantik karya designer kami, Becky Shue. Ditambah
beberapa manik-manik dan berlian palsu yang dijahit oleh Munaroh Encunwati.
Tugasku adalah merias wajah Teresa agar semakin menarik di hadapan NyeNye
nanti. Kuberikan dia eye-shadow warna
putih sedikit dan kuoleskan lipstick bening untuk melembabkan bibirnya. Tak
lupa, wajahnya aku taburi gliter
lembut khusus wajah yang akan membuatnya tampak bersinar di bawah rembulan
nanti. Sedangkan Jeanne dan Maureen menata tempat yang sudah kami pilih agar
keluar aura romantic-nya. Namun
sepertinya Maureen hanya memotret buatan Jeanne itu. Buktinya, ia sekarang
sudah kembali dan mengambil foto kesibukan kami di dalam kamar.
“Selesai sudah,
Teresa!” Ia berdiri dan memakai flat
shoes milik Becky. Dan tak lama kemudian sinar blitz menyilaukan dari
kamera Maureen menyala. Lalu semua penghuni kamar itu saling ber-selfie-ria, tidak untukku. Aku menengok
Danau Flakes dari jendela kamar. Jeanne masih menata makanan di sana.
“Sudah, ayo turun,
sudah hampir pukul 08.00.” Semua langsung turun ke bawah, begitu pun aku.
“Teresa, nanti kamu
jangan langsung nembak NyeNye. Kalian harus saling mengenal dulu,” ucapku
segera. Aku takut bila Teresa langsung menyatakan cinta, NyeNye akan
menolaknya. Lagipula, aku juga tak yakin NyeNye mencintai Teresa, karena hati
NyeNye hanya untuk Claire.
Teresa tersenyum saja.
Setelah sampai di
dekat Danau Flakes, Teresa duduk di kursi yang telah disediakan oleh Jeanne.
Kami pun segera bersembunyi di semak-semak yang tak jauh dari situ.
Tak lama setelah kami
menyembunyikan diri, NyeNye datang dengan gaya pakaian yang sangat berbeda
dengan Teresa. Ia hanya memakai kaos putih dan celana santai. Sangat tak cocok untuk
acara seromantis ini.
“Aduh, aku lupa
memberi tahu agar dia pakai kemeja berlengan pendek!” Lotta menepuk keningnya.
“Sudahlah, yang
penting NyeNye tahu yang kau maksud adalah Teresa.” Jeanne menepuk-nepuk bahu
Lotta dengan lembut.
NyeNye datang mendekati
kursi dan meja makan itu. Ia menengok ke kiri, tepatnya ke semak-semak di mana
kami bersembunyi. Ia tahu bahwa kami di sana. Lotta segera memberi tanda agar
ia duduk di depan Teresa. Untung saja NyeNye mau diperintah Lotta.
Karena jarak kami dengan
mereka yang cukup jauh, kami tidak bisa mendengar percakapan mereka yang
terlihat sangat asyik itu. Kami hanya memandang mereka yang dikelilingi
beberapa lilin bundar karya Jeanne.
Setelah lama duduk di
kursi putih dan makan pasta bersama, akhirnya NyeNye kembali ke kamarnya. Kami
pun menghampiri Teresa yang duduk sendirian. Ia hanya diam di sana. Tak sepatah
kata pun keluar. Ekspresinya pun datar saja.
Encun mengomel,
“Haduh, akhirnya NyeNye pulang, sudah ingin sekali aku berdiri.”
“Stt.. Liat
Teresa!—Kenapa dia?” Kami mendekati Teresa dan mengelus-elus bahunya agar dia
tenang. Setelah lama menebak-nebak apa yang terjadi, Teresa pun membuka mulut.
“Oh my God!” ucapnya dengan raut wajah tanpa ekspresi. Kami saling
menatap. Itu bisa saja bernada senang mau pun sedih. Jantung kami berdebar
ingin tahu segera.
“Terima kasih sekali
telah menyiapkan ini semua, teman.” Teresa berdiri dan kami pun melangkah
mundur untuk memberinya jalan. Ia berjalan perlahan-lahan menjauhi kami.
“Apakah menurutmu dia
menembak NyeNye?” tanya Becky yang ternyata memerhatikan peringatanku tadi. Aku
menatapnya.
“Dan NyeNye menolak
Teresa,” Lotta melanjutkan perkataan Becky. Aku memutar kepalaku ke kiri. Lotta
menunjukkan raut sedihnya.
“Teresa!” panggilku
sambil berjalan mendekatinya. Ia berhenti berjalan. Aku memegang bahunya pelan.
“Apa yang terjadi?”
Ia menggeleng pelan.
Lalu perlahan, ia mendongak. Aku membayangkan matanya sembab karena menangis.
Dan ternyata…
Ternyata benar. Dia
menangis.
Aku menoleh ke arah
teman-temanku yang diam membeku penasaran. Bibirku bergerak mengucapkan kata
“menangis” tanpa suara. Mereka pun berdatangan segera.
“Terima kasih
semuanya,” ucapnya sekali lagi.
***
No comments:
Post a Comment