Heyyyy guys! Seem like I left this blog for a long time haha. I'm sorry for that, and this story is published to show you my apologize. Exactly this was for my Bahasa Indonesia task, because I do love it, so I decided to post it. Enjoy guys...
Mungkin
aku akan kehilangan sahabatku sebentar lagi, atau justru aku mendapatinya
kembali di rumah dengan tubuh memar dan luka dimana-mana. Namun hipotesis yang
kedua itu sangat tidak mungkin, akan tetapi aku berharap Van Kov tidak menepati
kecamannya, untuk membunuh Mike, keluarganya, atau bahkan, aku.
Mike, dia sahabatku sejak kita masih dalam
kandungan ibu kami masing-masing hingga saat ini. Banyak orang menyangka kami
berpacaran, tetapi tidak, tidak akan. Kami sudah berjanji pada diri kami
masing-masing dan pada semua yang hidup bahwa kita tidak akan berpacaran, karena
suatu hal.
Suatu
hal..
Malam
minggu, seperti biasa, Mike dan aku selalu mengadakan movie night alias menonton film bersama-sama pada malam hari –yap,
film tidak akan asik ditonton di siang hari, kecuali di bioskop-. Belum juga
setengah dari Grown Up 2 ini diputar, kami sudah bosan. Bagaimana tidak, kami
sangat sering menonton film ini, bahkan sebelum filmnya rilis pun, kami sudah
memutar bajakannya berulang kali. Aku dan Mike memutuskan untuk menceritakan
kisah hidup masing-masing yang belum diketahui satu sama lain. Ini suatu hal
yang tidak mungkin, mengingat sejak kapan kami bersahabat. Namun... tidak.
Mike
giliran pertama. Aku sudah memasang wajah penuh semangat, tidak sabar mendengar
ceritanya. Terdengar helaan nafas berat dari Mike, “aku seorang kriminal,” mataku
melotot, hampir keluar kalau saja aku tidak dapat mengontrol emosiku. Seperti
mengerti tatapanku, lawan bicaraku melanjutkan kisahnya. “Aku terjebak dalam
kasus yang sangat tidak biasa bagi remaja berusia lima belas tahun seperti
kita, aku, aku telah berusaha keluar dari dunia gelap itu, tapi tidak bisa.”
“Apa
sebenarnya yang terjadi padamu, Mike,” tanyaku sedikit berteriak, kaget
sekaligus penasaran dengan ceritanya.
“Aku
membunuh orang, banyak orang, menggunakan pistol yang cukup keren bagiku,
hahaha. Dan aku dibayar untuk itu.” Terdengar helaan nafas berat -lagi- darinya,
“Kulakukan ini karena aku butuh uang untuk membantu ibuku, Em. Tidak pantas
bila anak laki-laki memberatkan hidup ibunya, justru aku yang harus
membantunya. Benar?” Berbahagialah diriku mengetahui kisahnya, dia memang
terbuka pada sahabatnya. Aku menatapnya seolah tak percaya mengenai jalan
pikirannya, sudahkah dia gila?
“Kau pasti
bercanda. Kau gila! Di mana akal sehatmu? Kau bisa saja mencari pekerjaan yang
baik untuk itu, bukan menjadi seorang pembunuh,” aku menyerangnya dengan
bentakan dan air mata membasahi pipiku, Mike hanya menatapku iba. Iba? Iba
karena sahabatku seorang pembunuh?
“Maafkan
aku, Emma. Aku tidak mengerti kalau aku akan menjadi seorang pembunuh, karena
waktu itu pria yang menawarkanku pekerjaan dan menjajikan upah besar, em, aku
katakan tampak berwibawa dan penuh hormat, pakaiannya saja jas dan kemeja
Burberry andalan Tom Cruise, tampilannya rapi. Pasti dia berduit. Huh, dan
entah mengapa aku menerima tawarannya sebelum aku menanyakan apa yang akan aku
kerjakan. Aku terlalu senang dan terlalu bersemangat, sepertimu saat aku
berjanji akan membelikanmu es krim blueberry
kesukaanmu,” jelasnya dengan kekehan di akhir kalimat. Bisa-bisanya dia
bercanda di saat ia menceritakan penderitaannya. Aku hanya diam, berharap dari
tatapanku Mike sadar bahwa aku menuntunya untuk melanjutkan kronologi dari
kejadian ‘Mike seorang pembunuh’.
“Apa,
Em,” dia tidak sadar ternyata, dasar kau, Mike. “Lanjutkan!”
“Aku
tidak bisa, Em. Aku tidak mau kau mengetahui...”
“Lanjutkan,
Mike! Apa salahnya kau membaginya denganku,” emosiku sudah tidak terkendali.
Aku sahabatnya –meski dia seorang pembunuh pun aku masih menerimanya-, dan siapa
tahu aku bisa memberikan jalan keluar atau apalah.
Mike
menghela nafas untuk yang ketiga kalinya, aku tahu dia selalu begini kalau
takut maupun gugup. “Lompat saja, lah, ya, aku tidak mau bertele-tele. Pria
itu, Van Kov namanya, memberiku misi untuk membunuh seorang remaja laki-laki,
dia bilang lelaki itu adalah generasi penerus dari musuh Van Kov dan harus
dihancurkan. Alasannya memilihku sebagai pembunuhnya karena kami, aku dan Jeff,
seumuran, jadi akan mempermudah misi ini. Awalnya aku kaget dan sudah berusaha
untuk membatalkan tawaran ini, namun aku ingat, aku sudah menyetujui perjanjiannya
untuk tidak keluar dari pekerjaanku nantinya.”
“Bagaimana
Jeff?”
“Aku
berhasil, meski dengan berat hati. Van Kov mengatakan aku berbakat dalam
pekerjaan ini, ia memberiku uang lebih lalu terus memberiku buronan, dari
segala umur dan kalangan, tetapi aku tidak pernah tahu alasan Van Kov memintaku
membunuh mereka. Dan hingga pada akhirnya, aku tidak sengaja mendengar
pembicaraan Van Kov bersama rekan pembunuh lainnya di markas kami. Ia...” Mike
menggantungkan ucapannya, ia memejamkan matanya seolah mengingat apa yang
dikatakan Van Kov. Sebenarnya aku hampir mati penasaran, namun aku tidak akan
memaksanya, ia dibawah tekanan.
“Ia
berkata pada rekannya bahwa ia akan membunuhku suatu saat, karena ternyata
mendiang ayahku adalah musuh besarnya sejak SMP dan ayahku berhasil merendahkan
atau bahkan menghilangkan harga diri Kov dengan mengalahkannya pada saat
pertandingan rugby kota sampai
mematahkan tangannya, padahal semua orang tahu bahwa Van Kov adalah rajanya rugby di kota itu. Terdengar aneh dan
gila, kan, Em? Itu masalah sepele, tapi efeknya luar biasa.
Setelah
mendengar itu, aku selalu meninggalkan tugas-tugas kriminal dari Kov dan bahkan
melakukan hal yang berani, membentaknya, tidak ada seorang pun yang boleh melakukannya.
Sejak saat itu pula, Van Kov tidak pernah memperlihatkan sisi baik dan
bangganya terhadapku. Aku takut, kalau seandainya dia merencanakan suatu hal
agar dapat menembak kepalaku dan melenyapkan nyawaku. Aku takut...”
Aku
memeluknya, melihat air mata mengalir dipipinya saat ia memejamkan mata. Jadi
intinya dia hanya terjebak, sekaligus ceroboh atau mungkin bodoh. Aku tidak
bisa membayangkan bila aku menjadi Mike, mungkin sudah gila atau mungkin bunuh
diri. Bagaimana hidupnya bisa tenang kalau dia sudah melayangkan nyawa banyak
orang yang tidak bersalah kepadanya?
“Mike,
kau tak aman,” kataku pelan, aku takut menyinggu perasaannya atau bagaimana.
“Aku
tahu, dan aku harap kau mau menjauhiku, Em. Van Kov bisa saja membunuhmu bila
kau tetap bersamaku. Dia pernah mengancamku untuk membunuhku, keluargaku, dan
mungkin pacarku bila aku punya, jika aku berani menolak perintahnya untuk
membunuh seseorang. Dan aku tidak mau kau dikira pacarku, kemudian... Ya, kau
tahu, kan, maksudku? Jadi menjauhlah dariku.”
“Tidak
akan, aku tetap sahabatmu. Dan aku bisa pastikan bahwa sahabatmu ini tidak
dapat hidup tanpa kamu. Seharusnya kau memintaku untuk selalu berada di
sampingmu, supaya aku bisa memberimu bantuan, selalu.”
Dua
minggu setelah movie night itu, tepat
hari ini, aku melihat dua pria berbadan kekar keluar dari rumah Mike dan
menyeretnya keluar dengan paksa. Aku tahu mereka suruhan Van Kov, dan mereka
melakukan hal tersebut karena Mike menolak untuk melakukan pembunuhan tanpa
kasus terhadap Mr. Dill, guru fisikanya, kemarin dia bercerita kepadaku.
Aku
berusaha untuk membebaskan Mike dari cekalan pria-pria itu, aku meneriakinya,
menggigit tangan mereka, memukulnya, namun apa daya, tidak berhasil. Justru aku
terlempar karenanya. Dan mereka berhasil membawa Mike kabur dengan Lamborghini
Aventador hitam milik Van Kov. Aku berlari mengejar mobil tersebut, namun apa
daya, kakiku tidak dapat mengalahkan kuda hitam yang kecepatannya mampu
mencapai 350 kilometer per jam. Huh...
Thanks for reading :) give me +1
Anyway, I will post Masih Ingat, Nggak? as soon as I can. But I promise I will post it, just trying to find the right time to write guys :)
No comments:
Post a Comment