*Lindsay Ong’s point of View*
Malam semakin
larut, namun suara musik tak kunjung menjauh. Gemerlap-gemerlap lampu masih
bertebaran di dalam ruangan. Pesta prom memang belum selesai. Walau awalnya
pesta direncanakan selesai pukul dua belas, namun nyatanya, sekarang jam
tanganku sudah menunjukkan angka satu, dan pesta masih berlangsung. Tak hanya
murid IAB yang menikmati kegembiraan ini, guru-guru IAB pun juga mengikutinya.
Alih-alih bersikap dingin dan serius seperti biasanya, mereka justru melakukan
aksi gila Harlem Shake. Mungkin
mereka lelah, kata Loiz di sela-sela stand
up comedy-nya.
Well, kuakui, ini adalah pesta tergila di sekolah. Tak pernah ada
yang menyangka kalau Mr. Hab, guru matematika ter-killer IAB, bisa menari robot alias Robot dance dengan sangat hebat di depan panggung. Begitu juga
dengan Mrs. Imbly, guru sejarah galak IAB yang terlalu banyak minum wine sehingga mabuk dan ikut menari
bersama Mr. Hab, walau akhirnya pingsan. Jeanne dan Gareth juga mengisi acara
dengan nyanyian-duetnya yang super romantis.
Suasana di dalam gedung memang mengasyikan, namun sepertinya aku
mulai bosan dengan keramaian dan kebisingan ini. Maka kuputuskan untuk
menikmati keheningan taman di sekitar Danau Flakes dan melihat bintang-bintang
yang bertebaran di sana. Kupikir hanya diriku saja yang ingin keluar dari
gedung, ternyata tidak. Maureen mengagetkanku dengan sinar blitz dari gadgetnya
saat memotretku yang sedang bersantai di rumput hijau. Menyusul juga Pierre
yang dengan cool berjalan menyusuri
tepi danau. Tak lama kemudian, NyeNye dan teman-teman sekelas datang lalu
berkumpul bersama dengan kami. Maureen yang tak bisa lepas dari selfie, mengabdikan moment-moment indah kebersamaan kami ini dengan foto bersama
menggunakan tongsis peraknya.
“Sungguh hari yang tak terlupakan,” kataku saat jalan bersama
menuju asrama. Sebenarnya pesta prom belum selesai, tapi hanya tinggal beberapa
orang yang ada di dalam. Merasa sudah tidak seru lagi, kami pun berniat kembali
ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
“Sebenarnya aku masih ingin kumpul kayak tadi. Tapi anginnya
sih, tidak bersahabat. Besar banget, bisa buat kita sakit kalo tetep di sana,”
gerutu Encun. Dihentak-hentakkannya langkah kakinya untuk mengungkapkan
kekesalannya. Dung.. dung.. dung..
“Sudahlah, Cun. Masih banyak waktu untuk berkumpul bersama.”
Pierre menanggapi dengan bijak. Biasanya, yang melakukan itu Jeanne, tapi dia
sekarang masih asyik pacaran sama Gareth. Mereka itu pasangan yang sangat
cocok, sudah 2 tahun mereka tidak berstatus single,
semoga saja bisa bertahan sampai mati. Aminn..
“Benar itu. Masih ada waktu―dan kita harus
memanfaatkan waktu itu dengan sebaik-baiknya. Sebelum kita terpisah jauh di
berbagai negara di dunia.” Mulai deh, NyeNye berpuisi.
“Apa rencanamu?” tanya
Lotta yang sedari tadi menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya karena
kedinginan. Dan seketika itu, NyeNye menjadi pusat perhatian kita untuk
beberapa menit.
***
“Clairreeeeee!!!”
teriak kami, penghuni kamar asrama putri 24, saat melihat Claire lewat video
call di laptop Lotta. Ia mengenakan sweater
putih dan bandana berwarna putih pula. Rapi sekali penampilannya. Berbeda
dengan kami yang sudah memakai pajamas,
siap pergi ke pulau kapuk.
“Glad to see you, guys!” Claire tersenyum lebar. Kami pun
berdesak-desakkan mendekat ke layar laptop untuk memasang senyum, membalas
senyuman manis Claire.
“Miss you Claire,”
ucapku sedih, diikuti oleh teman-teman di belakangku.
“Hey, Lindsay, don’t be too sad. As my admire, you must be happy too
when your idol is happy,” kata Claire menghiburku. Ya, aku memang
penggemarnya. Menurutku, dia adalah pribadi yang dewasa, bertanggung jawab,
pintar dan berani tapi tetap sopan. Biasanya, dialah yang memberikan
saran-saran bijak saat aku terkena virus galau. Maka dari itu, kepergiaannya
sangat menyakitkan. Tapi ada benarnya juga perkataan Claire, kalau dia senang,
seharusnya aku juga senang karena dia sahabatku. Lagi-lagi dia berkata bijak. Sungguh
mengagumkan.
“Congratz ya, atas status
barumu dengan Ashton,” ucap Becky, membuat wajah Claire menjadi sedikit
kemerahan di pipinya.
“Bagaimana pesta prom
kalian?”
“Sangat menyenang—,” Sorry, there is a problem with your
connection. Please check it to continue the video call. “Ahhhh… Siall.. Wifi-nya
dimatiin.”
***
Readyyy?? Spongebob Squarepants…. Spongebob
Squarepants…. Spongebob Squarepants…. Spongebob.... Squarepantssss…. (suara
clarinet)
“Aduh, alarm siapa sih, brisik banget!”
“Memang sudah jam berapa sih ini? Kok terang banget?” tanyaku
sambil membalikkan badan yang sebelumnya menghadap ke dinding asrama.
“What?? Jam tujuh?
Kita telat guysss!” teriakku sekeras mungkin untuk membangunkan semua teman
sekamarku. Dengan cepat aku memakai sandal dan berlari menuju lemari, mengambil
seragam. Saking gugupnya, aku jadi lupa berdoa. Begitu juga dengan teman-teman
yang mengikuti langkahku, kecuali Encunwati. Dia masih tidur dengan selimut
sebatas perutnya.
“Lho, ada sekolah to?” katanya, membuat kami semua meninggalkan
kesibukan untuk menatap wajah polosnya dengan mulut yang masih menganga karena
kata terakhirnya adalah “to”.
“Oya, ya! Kan kita freeeee…”
tanggap Maureen dengan suara dan gaya alaynya.
“Lagian cun, kamu ngapain masang alarm? Buat kita bingung aja,”
kata Lotta kesal, menghentakkan salah satu kakinya ke lantai.
“Lupa tak set off.
Maap.”
“Ya, sudah, mari kita tidur lagi. Kita baru tidur empat jam.
Kalian tahu?” Aku menghembuskan badanku ke tempat tidur lagi, menarik selimut
sampai kepala (karena sinar matahari yang masuk lewat jendela kamar sangat
menyilaukan) dan mulai memejamkan mata.
TOKK… TOKK... TOKK…
Sebenarnya aku belum tidur, karena aku memang susah kalau untuk
memulai tidur. Tapi aku malas beranjak dari pulau kapukku, jadi kubiarkan saja
orang lain yang membukanya.
TOKK… TOKK… TOKK…
Aduh siapa sih, pikirku. Kok tidak ada yang bukain juga? Apakah
sudah pada tidur semua? Cepat banget terlelapnya.
TOOKKK… TOKKK… TOKKK…
Untuk ketiga kalinya orang itu mengetuk pintu. Makin lama makin
keras saja. Kalau kubiarkan, pasti dia semakin keras mengetuknya, dan itu
sangat meng-gang-gu. Terpaksa deh, kubuka pintunya. Mungkin saja dia hanya
bertamu sebentar.
“Heh, lama banget sih, buka pintunya.” Berdirilah seorang laki-laki
bertubuh tinggi tegap di depanku. Tak salah lagi, dia adalah Pierre.
“Mau ngapain sih? Jangan ganggu orang yang lagi enak-enak tidur
to,” jawabku dengan lemas. Rambutku yang masih acak-acakan, baju pajamasku yang sudah kusut, dan kedua
mata pandaku, mampu mewakili kalau kita, siswa putri kamar 24, masih ingin
bermimpi walau hari sudah siang.
“Enak
saja, tidur. Kalian lupa apa, sama rencana NyeNye kemarin malam?” Pierre
membentakku. Tak pernah ia segalak ini, sampai-sampai Lotta terbangun dari
tidurnya. Sepertinya dia sudah kesal, mengetuk pintu berkali-kali. Mungkin dia juga
tidak ingin melewatkan moment
kebersamaan kami, seperti yang sudah direncanakan. Ini memang kesalahan kami.
“Sudahlah Pierre, kasihan Lindsay. Kami akan bangun dan segera
menuju Pantai Crane.” Ternyata Jeanne juga terbangun.
“Cepetan ya, keburu siang nanti.” Setelah itu, Pierre langsung
meninggalkan pintu kamar.
“Bangun, bangun, bangun.. Jangan lupakan rencana NyeNye semalam kawan!”
ujar Lotta membangunkan Becky, Maureen, dan Encun.
Secara cepat kami mengganti baju kami menjadi pakaian olahraga,
tanpa mandi terlebih dahulu. Lagipula, nanti setelah olahraga juga kotor dan
berkeringat, jadi tidak ada gunanya mandi. Kita semua memakai baju olahraga
yang sama. T-shirt berwarna putih
dengan sedikit garis hijau muda di lengan dan celana di atas lutut yang
berwarna sama dengan garis tersebut. Kami membelinya bersama saat outside class kelas delapan yang lalu.
Dengan sedikit terburu-buru kami menuruni tangga sambil menggenggam botol minum
di tangan kami.
Tak lama kemudian, sampailah kami di Pantai Crane dengan Pierre,
NyeNye, Loiz, dan Gareth yang terlihat sudah sangat lelah menunggu kedatangan
kami. Uppsss, maafkan kami.
***
No comments:
Post a Comment