Write my life!

Nye Nye : Spending The Time (Chapter 12 Pt. 4)

Edytuj post No comments:

Hello, everyone. This time I'm telling you that this chapter is the last chapter before epilog. So just wait until... do know when. Promise we'll write as soon as possible. Enjoy!


*Lindsay Ong’s point of View*

Kami memeluknya dengan erat. Air mata Encun pun menetes sedikit. Ia tak tahan menyaksikan temannya menangis sendirian. Pelukan kami membuat Teresa semakin mengucurkan air mata. Ia tersedu-sedu.

“Ini adalah malam terindah bagiku,” ucapnya di sela tangisannya.

Encun berhenti menangis.

“Maksud kamu?” tanya Becky bingung. Kami pun juga bingung dengan perkataan Teresa baru saja. Namun Teresa hanya diam. Dia sibuk menghapus air matanya dan mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Maureen membisiki Becky. “Mungkin maksudnya ini malam terindah karena dia bisa dinner dengan NyeNye.”

“Walau ditolak cintanya,” Lotta melanjutkan bisikan Maureen tadi.

“Benar-benar indah, teman—Sampai-sampai air mata bahagia ini tak bisa kubendung lagi.” Ia pun mengusap air matanya yang terakhir.

“Astaga, kukira kau menangis sedih, Teresa!” teriak Encun tiba-tiba. Ia melepaskan pelukannya yang paling erat di antara pelukan kami semua. Satu per satu dari kami pun mengikuti Encun.

“Pintar sekali kamu berbohong.” Jeanne menanggapi dengan lembutnya.

“Maksud kalian apa?” tanya Teresa yang akhirnya berekspresi.

“Dari tadi raut wajahmu datar dan kamu diam saja, seperti sedang sedih,” ujar Lotta segera.

Aku menambahi, “Apalagi tangisanmu yang tersedu-sedu itu.”

“Aktingmu seperti aktris saja! Sudah, jadilah aktris, nanti aku yang jadi designer pribadimu.” Becky tersenyum lebar.

“Maafkan aku, teman. Otot-ototku terasa kaku semua. Aku tidak bisa berekspresi sedikit pun.”

“Huh, kau ini membuat jantungku hampir berhenti,” ucap Maureen mengikuti gaya NyeNye yang puitis itu. “Sudahlah,” katanya lagi. Lalu ia memasukkan tangannya ke dalam kantong bajunya dan mengeluarkan kameranya. “Selfie dulu!”

Kami pun berfoto-foto sepanjang perjalanan, mengungkapkan kelegaan di hati kami semua. Rencana dadakan ini berhasil! Walaupun sebenarnya ada satu yang mengganjal di hatiku. Tidak ada yang berani bertanya apakah Teresa menembak NyeNye atau belum. Yang kami tahu, NyeNye dan Teresa selalu bersama keesokan harinya. Kadang terlihat berdua saja, seperti Gareth dan Jeanne, tapi kadang bergabung dengan kami semua. Apapun status mereka sekarang, yang terpenting adalah kebahagiaan di antara mereka berdua. NyeNye sama sekali tidak terlihat galau akibat ditinggal Claire. Dan Teresa juga tidak galau karena cowok yang ia kagumi dari dulu sudah berada di sisinya sekarang. Sayang, mereka hanya diberi waktu satu hari untuk menikmati kebersamaan itu. Kadang kami, para cewek kelas 9-3, menyesal semua itu berlangsung dua hari sebelum perpisahan. Tapi Claire selalu berkata, “Jodoh akan bertemu. Mereka akan dipersatukan kembali dengan waktu yang jauh lebih lama apabila mereka berjodoh.” Itulah salah satu kalimat yang diucapkannya saat kami memberitahu semua rencana gila itu.

***

Hari perpisahan telah datang. Kami, siswa International Boarding School kelas 9, telah berkumpul di aula sekolah untuk menerima ucapan perpisahan yang terakhir dari para guru. Beberapa orang tua sudah menunggu di luar ruang aula. Oleh sebab itu, acara terakhir di IAB ini hanya berlangsung sebentar. Pihak sekolah tidak membiarkan para orang tua menunggu terlalu lama. Mereka memulangkan siswanya 15 menit kemudian.

Maureen dan Lotta sudah dijemput. Begitu juga Jeanne dan Gareth yang dijemput bersamaan, karena rumah mereka bersebelahan sekarang. Kabar baru itu membuat Jeanne dan Gareth semakin senang. Tentu saja. Mereka bisa bertemu kapan pun. Tinggal mengetuk pintu saja, sudah bertemu. Tidak perlu kirim sms atau pun bertelepon. Memang jodoh mereka itu.

Sekarang tinggal Encun dan Becky, dua teman sekelasku perempuan, yang menemaniku di bawah pohon mangga dekat gerbang sekolah. Encun menyandarkan kepalanya ke bahuku dari tadi. Ia menangis tersedu-sedu dari tadi.

“Sudahlah, nanti kan kita masih bisa berkumpul lagi,” ucapku menenangkan Encun.

“Tapi kan saat itu kita sudah besar. Pasti pada sibuk dengan kerjaan.” Encun semakin keras menangis.

“Itu! Kau dijemput, Cun!” Becky menunjukkan telunjuknya ke arah pintu gerbang.

“Simbah!” teriak Encun tiba-tiba. Ia berlari cepat bersama dua tas di tangannya lalu memeluk simbahnya dengan erat. Dan dengan mudahnya ia melupakan tangisnya tadi. Ia melambaikan tangannya ke arah kami.

Tak lama dari itu, aku dijemput dengan mobil ayah yang tidak kukenal. Tentu saja, sudah lama aku tidak pulang ke negara asalku, pasti mobil butut yang dulu sudah dihancurkan. Aku mengangkat tasku dan menarik koperku. Kubalikkan badanku untuk melihat wajah teman-teman sekelasku yang tersisa, Becky, Loiz, NyeNye, dan Pierre. Dan kuucapkan kata terakhir untuk mereka, “Selamat berjumpa kembali!” diikuti senyuman dari bibirku. Aku pun melangkah pergi.

Nye Nye : Spending The Time (Chapter 12 Pt. 3)

Edytuj post No comments:


*Lindsay Ong’s point of View*

Kami, maksudku Jeanne, Lotta, dan aku, sedang duduk di pinggir Danau Flakes, danau yang sama saat kita sedang ber-selfie-ria empat hari yang lalu. Kami mengistirahatkan diri sejenak setelah seharian menyusun rencana yang diharapkan akan terlaksana malam ini juga. Rumput sekitar danau adalah tempat yang cocok sebagai sandaran punggung kami, sekaligus tempat indah untuk menjalankan rencana hebat itu.

“Menurutmu ini akan berjalan dengan lancar?” tanyaku sambil menikmati indahnya langit senja hari yang terpantul di air depan kami.

“Kuharap, Lindsay,” Jeanne memaksakan senyum dibibirnya, lalu kembali memandang langit.

Tiba-tiba NyeNye datang dengan T-shirt warna abu-abunya dan celana sepanjang lututnya. “Hai semua!” sapanya mengagetkan kami yang baru saja diam dari pembicaraan tentang rencana itu.

“Untuk apa kalian memanggilku ke sini?” tanyanya. Lalu ia ikut duduk di sebelah Lotta dan menyandarkan tubuh di rumput hijau pinggir Danau Flakes.

“Memanggil?” Jeanne terbangun dan langsung memandang aku dan Lotta. Aku pun mengangguk dan tersenyum. “Oh, iya, aku lupa.”

“Adakah itu dalam rencana?” Jeanne membisikiku.

“Tentu, rencanaku.” Ia terbelalak kaget. Bibirnya bergerak tanpa suara dan aku bisa membaca gerakan itu. “Tadi, waktu aku ke kamar sebelum ke sini. Ingat kan?—Saat itu juga, aku terpikirkan untuk mengajak NyeNye ke sini. Kutulis memo dan kutempelkan itu di depan kamarnya.”

“Apa yang kau rencanakan?” Jeanne membalas bisikanku.

“Nye, sudah berapa hari sih, Claire pergi ke Inggris?” tanyaku tiba-tiba. Lotta dan NyeNye memandangku langsung.

“Sudah lama pokoknya. Aku tidak menghitung berapa hari, takut teringat lagi,” katanya menjawab. Kali ini ia tidak menunjukkan kemampuan berpuisinya.

“Kau masih menyukai Claire?”

“Tentu saja. Sampai kapan pun, Claire akan selalu di hatiku yang terdalam.” Ia berdiri di depan kami untuk menunjukkan cintanya yang begitu dalam pada Claire.

“Sampai kapan pun?” Kami bertanya serentak lalu saling berpandangan.

“Memang kenapa?” tanyanya melihat ekspresi kami yang sudah putus asa. Ia pun duduk kembali tepat di batu-batu pinggir danau.

“Hati-hati nanti jatuh.” Jeanne memperingatkan, sekaligus memberiku dan Lotta waktu sebentar untuk merangkai jawaban.

“Tidak-tidak, aku sudah ahli—Kalian belum menjawabku!” Ini waktu yang tepat untuk memancing NyeNye, pikirku.

“Ehm, tidak apa, Nye. Kami hanya tidak mau kamu stress karena kepergian Claire.” Aku menoleh ke Jeanne, dan ia mengangguk.

“Sudah kubilang kan, aku memang sedih, tapi tidak sampai seperti itu. Claire sudah menyuruhku tenang, walau hatiku tak bisa tenang,” ucapnya sedih, terlihat dari raut wajahnya.

Aku menggigit bibir bawahku dan memberi solusi dengan sangat sangat ragu, “Bagaimana jika kami mencarikan kamu pacar? Jadi kamu bisa sedikit melupakan Claire.”

“Aku tahu bahwa banyak gadis mencintaiku, tapi sepertinya susah untuk memilih salah satu dari sekian ribu wanita.”

“Astaga naga, hanya satu kok ceweknya!” Lotta menggeram. Aku dan Jeanne menatap Lotta. NyeNye terlihat sangat bingung, ia tak menyangka kami semua serius mencarikan pacar untuknya.

“Tenang Nye—,” ucapku menenangkan cowok super pede itu. “—intinya, kamu mau tidak, bila ada cewek yang mendekatimu?” Kami semua memerhatikan wajah NyeNye yang sedang berpikir itu, sambil mengharapkan jawaban “ya” darinya.

“Boleh dicoba,” jawabnya santai. “Siapa sih, jadi penasaran.”

“YESS!!”

“Pokoknya tunggu kami di sini nanti malam!” ucap Lotta kesenangan.

Kami semua berdiri. “Jangan lupa!” Jeanne memeringatkan lagi.

NyeNye pun meregangkan tubuhnya, siap untuk berdiri. “E—e—eh!” BYURR… NyeNye terjatuh ke dalam danau seketika. “Nye!” teriak kami yang juga terkena air cipratan.

***

Kami sudah selesai mendandani Teresa di kamar kami. Ia terlihat sangat cantik dengan rambut berombaknya yang dipita oleh Lotta. Becky sudah memodifikasi gaun Teresa yang hampir tak pernah dipakai. Gaun putih dengan model kuno itu sudah berubah menjadi mini-dress cantik karya designer kami, Becky Shue. Ditambah beberapa manik-manik dan berlian palsu yang dijahit oleh Munaroh Encunwati. Tugasku adalah merias wajah Teresa agar semakin menarik di hadapan NyeNye nanti. Kuberikan dia eye-shadow warna putih sedikit dan kuoleskan lipstick bening untuk melembabkan bibirnya. Tak lupa, wajahnya aku taburi gliter lembut khusus wajah yang akan membuatnya tampak bersinar di bawah rembulan nanti. Sedangkan Jeanne dan Maureen menata tempat yang sudah kami pilih agar keluar aura romantic-nya. Namun sepertinya Maureen hanya memotret buatan Jeanne itu. Buktinya, ia sekarang sudah kembali dan mengambil foto kesibukan kami di dalam kamar.

“Selesai sudah, Teresa!” Ia berdiri dan memakai flat shoes milik Becky. Dan tak lama kemudian sinar blitz menyilaukan dari kamera Maureen menyala. Lalu semua penghuni kamar itu saling ber-selfie-ria, tidak untukku. Aku menengok Danau Flakes dari jendela kamar. Jeanne masih menata makanan di sana.

“Sudah, ayo turun, sudah hampir pukul 08.00.” Semua langsung turun ke bawah, begitu pun aku.

“Teresa, nanti kamu jangan langsung nembak NyeNye. Kalian harus saling mengenal dulu,” ucapku segera. Aku takut bila Teresa langsung menyatakan cinta, NyeNye akan menolaknya. Lagipula, aku juga tak yakin NyeNye mencintai Teresa, karena hati NyeNye hanya untuk Claire.

Teresa tersenyum saja.

Setelah sampai di dekat Danau Flakes, Teresa duduk di kursi yang telah disediakan oleh Jeanne. Kami pun segera bersembunyi di semak-semak yang tak jauh dari situ.

Tak lama setelah kami menyembunyikan diri, NyeNye datang dengan gaya pakaian yang sangat berbeda dengan Teresa. Ia hanya memakai kaos putih dan celana santai. Sangat tak cocok untuk acara seromantis ini.

“Aduh, aku lupa memberi tahu agar dia pakai kemeja berlengan pendek!” Lotta menepuk keningnya.

“Sudahlah, yang penting NyeNye tahu yang kau maksud adalah Teresa.” Jeanne menepuk-nepuk bahu Lotta dengan lembut.

NyeNye datang mendekati kursi dan meja makan itu. Ia menengok ke kiri, tepatnya ke semak-semak di mana kami bersembunyi. Ia tahu bahwa kami di sana. Lotta segera memberi tanda agar ia duduk di depan Teresa. Untung saja NyeNye mau diperintah Lotta.

Karena jarak kami dengan mereka yang cukup jauh, kami tidak bisa mendengar percakapan mereka yang terlihat sangat asyik itu. Kami hanya memandang mereka yang dikelilingi beberapa lilin bundar karya Jeanne.

Setelah lama duduk di kursi putih dan makan pasta bersama, akhirnya NyeNye kembali ke kamarnya. Kami pun menghampiri Teresa yang duduk sendirian. Ia hanya diam di sana. Tak sepatah kata pun keluar. Ekspresinya pun datar saja.

Encun mengomel, “Haduh, akhirnya NyeNye pulang, sudah ingin sekali aku berdiri.”

“Stt.. Liat Teresa!—Kenapa dia?” Kami mendekati Teresa dan mengelus-elus bahunya agar dia tenang. Setelah lama menebak-nebak apa yang terjadi, Teresa pun membuka mulut.

Oh my God!” ucapnya dengan raut wajah tanpa ekspresi. Kami saling menatap. Itu bisa saja bernada senang mau pun sedih. Jantung kami berdebar ingin tahu segera.

“Terima kasih sekali telah menyiapkan ini semua, teman.” Teresa berdiri dan kami pun melangkah mundur untuk memberinya jalan. Ia berjalan perlahan-lahan menjauhi kami.

“Apakah menurutmu dia menembak NyeNye?” tanya Becky yang ternyata memerhatikan peringatanku tadi. Aku menatapnya.

“Dan NyeNye menolak Teresa,” Lotta melanjutkan perkataan Becky. Aku memutar kepalaku ke kiri. Lotta menunjukkan raut sedihnya.

“Teresa!” panggilku sambil berjalan mendekatinya. Ia berhenti berjalan. Aku memegang bahunya pelan. “Apa yang terjadi?”

Ia menggeleng pelan. Lalu perlahan, ia mendongak. Aku membayangkan matanya sembab karena menangis. Dan ternyata…

Ternyata benar. Dia menangis.

Aku menoleh ke arah teman-temanku yang diam membeku penasaran. Bibirku bergerak mengucapkan kata “menangis” tanpa suara. Mereka pun berdatangan segera.

“Terima kasih semuanya,” ucapnya sekali lagi.

***

Nye Nye : Spending The Time (Chapter 12 Pt. 2)

Edytuj post No comments:

*Lindsay Ong’s point of View*

“Tiga, dua, satu, prittt… (peluit dibunyikan)

Pertandingan sepak bola antarsiswa kelas 9-3 pun dimulai. Walaupun tidak memenuhi kriteria jumlah pemain sepak bola, namun tetap saja olahraga ini berlanjut. Grup pertama beranggotakan NyeNye, Lotta, dan Gareth. Sedangkan Encun bergabung dengan Pierre di grup dua. Memang kurang satu orang untuk membuatnya jadi seimbang. Oleh karena itu Pierre mengajak antara aku, Maureen, dan Becky untuk bermain. Setelah lama saling menunjuk, Beckylah yang masuk jadi penyeimbang, dan permainan pun dimulai.

Aku, Maureen dan Jeanne duduk di pesisir pantai Crane, bersama Loiz yang sedang galau karena patah hati. Entah dengan siapa, itu masih misterius. Menurut mata penelitianku, ia tidak pernah mendekati seorang cewek pun, jadi susah ditebak. Kasihan juga melihatnya sering memasang status galau di media sosial. Kadang aku bingung dengan yang namanya kisah cinta.

Kalau cinta seseorang, katakan saja. Masalah diterima atau tidaknya, itu belakangan, yang penting sudah mencoba menyatakan perasaan.

Teorinya sih gitu. Tapi tetap saja banyak orang yang diam-diam menyimpan perasaan, bukan mengatakannya. Kata mereka, kenyataan itu berbeda sama teori. Mereka takut sakit hati kalau ditolak, jadi mereka memilih menjadi teman biasa saja. Entahlah, aku pun belum pernah merasakan yang namanya men-cin-ta-i-se-se-o-rang, jadi aku tidak tahu mana yang benar.

Setelah lama memandangi hamparan laut yang sebenarnya tidak indah menurutku, aku pun ingin berolahraga. Kuajak Jeanne dan Maureen untuk bermain badminton bersamaku. Sedangkan Loiz memilih untuk tidur di atas pasir putih Pantai Crane sambil menikmati kegalauan hatinya.
***

“Apa acara selanjutnya Nye?”

“Entah, belum ada rencana lagi,” jawabnya sambil bernapas terengah-engah.

“Eh, eh, dengar-dengar tiga hari lagi ada pesta api unggun, loh.” Maureen tiba-tiba menepuk bahu NyeNye yang penuh dengan keringat itu. “Iuhh..” Ia mengibatkan tangannya segera.

“Ohh..” tanggap NyeNye singkat sambil menyeka keringat di dahinya. Loiz datang, diikut  Lotta dan kawan-kawan lainnya.

“Dari mana saja kalian, kok hilang begitu saja?”

“Tidakkah kalian mendengar suara Mrs. Sam berteriak di mikrofon, memanggil kita semua untuk berkumpul??” Lotta berteriak menjawab pertanyaan Maureen.

“Sudah, sudah.” Encun menenangkan kami semua. “Begini, dua hari lagi, akan ada pesta api unggun. Seperti biasa, setiap kelas wajib menampilkan sesuatu. Sekarang pertanyaannya, apa yang akan kita tampilkan?”

“Paduan suara? La la la la la la la la…” usul Maureen yang pertama, dilanjutkan nyanyian seriosanya. Suaranya memang bagus, ia sering mengikuti lomba paduan suara, pantas saja ia mengusulkan penampilan itu.

“Ah.. Itu sudah biasa.. Kita membutuhkan yang extraordinary.”

Ordinary kan artinya biasa. Berarti kalo Extraordinary, artinya biasa banget no,” kata Pierre.

“Drama aja gimana?” Encun mencoba memberi masukan, lalu membayangkan aksi drama kita di sekeliling api unggun dan tertawa sendiri, tapi tidak ada yang menghiraukannya.

“Yang berhubungan sama musik aja. Biar tidak perlu latihan banyak.” Becky mulai menggerakkan jari tangannya, seolah-olah ia sedang memetik senar gitarnya.

“Modern dance?” Jeanne berpikir. “Nyanyi sambil ngedance aja gimana? Kayaknya keren itu.”

“Oke!” NyeNye mengacungkan jempolnya.

“Ya, ya..” Pierre mengangguk.

“Setuju, setuju, setuju!” ucap Gareth menirukan gaya bicara Upin dan Ipin. “Pintar kau, Jeanne,” pujanya pada pacarnya.

***

“Baiklah, penampilan pertama siapa Mr. Hab?” Mrs. Imbly menanyakan lewat microfonnya yang berwarna perak penuh glitter.

“Kelas 9-4,” Mr. Hab melirik ke arah kumpulan siswa 9-4. Sepertinya guru killer itu mau balas dendam, karena pidatonya tadi tertawakan oleh mereka.

Mereka menampilkan paduan suara. Teresa, salah satu murid  di sana, memulai pertunjukan dengan bernyanyi solo.

I think of you in everything that I do
To be with you what ever it takes I’ll do
Cause you my love, you all my heart desires
You’ve lighten up my life forever I’m alive

Lalu teman-temannya menyambung suara Teresa diiringi alunan biola yang menghanyutkan hati kami semua yang mendengar. Kami pun meliukkan tubuh kami ke kanan dan ke kiri. Jeanne malah menyandarkan kepalanya ke bahu Gareth.

Since I found you my world seems so brand new
You've show me the love I never knew
Your presence is what my whole life through
Since I found you my life begin so new
Now who needs a dream when there is you
For all of my dreams came true
Since I found you
Your love shines bright
Through all the corners of my heart
Maybe you are my dearest heart
I give you all I have my heart, my soul, my life
My destiny is you
Forever true... I'm so in love with you
Since I found you my world seems so brand new
You've show me the love I never knew
Your presence is what my whole life through
Since I found you my life begin so new
Now who needs a dream when there is you
For all of my dreams came true
Since I found you
My heart forever true...
In love with you..

“Bagus sekali penampilan mereka,” ucapku terpesona. Jeanne mengangguk setuju, “Mak nyus kata-katanya ya.” Lalu ia meletakkan telapak tangannya di dadanya.

“Kau lihat tidak, tadi Teresa melihat ke arah kita terus?”

“Kita?” tanyaku bingung mendengar perkataan Lotta.

“Iya, ke arah NyeNye tepatnya.” Dia menengok melihat NyeNye yang sedang mengobrol dengan Encun. “Dia menyanyi dari lubuk hati yang paling dalam. Aku yakin itu.”

Belum sempat aku dan Jeanne bertanya lebih lanjut, kelas kami sudah dipanggil untuk maju menampilkan karya kami.

“Good luck” ucapku pada Jeanne. Ia tersenyum dan membalas dengan kata-kata yang sama.

(Suara petikan jari tiga kali)
[Becky] I’ve been working hard so long
[Becky] seems like pain has been my only friend
[Encun] my fragile heart's been done so wrong
[Encun] I wondered if I'd ever heal again

[Lotta dan Maureen] ohh just like all the seasons never stay the same
[Lotta dan Maureen] all around me I can feel a change (ohh)

CHORUS (Kita semua mulai menggerakkan kaki dan tangan sesuai dengan gerakan yang telah dibuat oleh Jeanne)
[All] I will break these chains that bind me, happiness will find me
[All] leave the past behind me, today my life begins
[All] a whole new world is waiting it's mine for the taking
[All] I know I can make it, today my life begins

[Nye-Nye] Yesterday has come and gone
[Nye-Nye] and I've learnt how to leave it where it is
[Pierre] and I see that I was wrong
[Pierre] for ever doubting i could win

[Loiz dan Gareth] Ohh just like all the seasons never stay the same
[Loiz dan Gareth] all around me i can feel a change (ohh)

[All] I will break these chains that bind me, happiness will find me
[All] leave the past behind me, today my life begins
[All] a whole new world is waiting it's mine for the taking
[All] I know I can make it, today my life begins

[Lindsay] Life's too short to have regrets
[Lindsay] so I'm learning now to leave it in the past and try to forget
[Jeanne] only have one life to live
[Jeanne] so you better make the best of it

[All] I will break these chains that bind me, happiness will find me
[All] leave the past behind me, today my life begins
[All] a whole new world is waiting it's mine for the taking
[All] I know I can make it, today my life begins

[All] I will break these chains that bind me, happiness will find me
[All] leave the past behind me, today my life begins
[All] a whole new world is waiting it's mine for the taking
[All] I know I can make it, today my life begins
[All] today my life begins...

Kami semua sangat senang saat mendengar suara tepuk tangan saling bersautan. Malah ada yang standing-applause. Ini semua berkat usaha keras kami semua ditambah iringan musik dari Pierre dan Loiz yang sungguh hebat.

Ini memang pesta api unggun paling menyenangkan bagiku. Semua ingatan bahwa perpisahan kami tinggal dua hari lagi, hilang, diterpa oleh kebahagiaan malam ini.

Setelah membungkukkan badan, kami kembali ke tempat duduk dengan barisan yang sedikit teratur. Tubuhku yang pendek membuatku duduk di barisan paling depan agar bisa melihat performance dengan jelas. Jeanne dan Lotta menemaniku di barisan terdepan.

“Maksudmu apaan sih, Lot?” tanya Jeanne tiba-tiba. Lalu ia memasukkan sebuah permen karet ke mulutnya sambil menunggu Lotta menjawab.

“Apa?” Lotta bertanya bingung. Ia lupa dengan perkataannya sendiri, begitu pun aku.

Jeanne menatap Teresa yang sedang duduk dengan mata yang juga terarah ke kami. Ia segera mengalihkan pandangannya.

“Oh, tentang Teresa maksudmu?” Lotta mengangguk-ngangguk mengerti. Lalu ia mulai bercerita. Intinya, Teresa sebenarnya suka dengan NyeNye. Tiba-tiba sebuah ide muncul di benakku. Ide yang aneh sebenarnya.

“Aku punya rencana untuk mengisi waktu senggang kita selama dua hari ini, mau ikut?” tanyaku disambut anggukan kepala mereka berdua. 
***
© Agata | WioskaSzablonów.